Sabtu, 16 Februari 2008

Akrodermatitis

Akrodermatitis ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata acro yang berarti ekstremitas dan dermatitis yang mempunyai arti peradangan pada kulit(4). Sehingga dapat ditarik suatu pengertian secara bahasa yakni peradangan kulit yang terdapat pada ektremitas.

Akrodermatitis pertama kali ditemukan pada tahun 1955 di Italia oleh Gianotti yang dikaitkan dengan infeksi virus Hepatitis B(5). Beberapa waktu kemudian dikemukakan bahwa banyak virus maupun bakteri lain yang dapat menyebabkan akrodermatitis seperti Coxsackie virus, Parainfluensa virus, Enterovirus, Respiratory Syncytial virus, group A Beta Hemolytic Streptococcus dan lainnya(3).
Sinonim dari acrodermatitis ialah acrodermatitis infatile lichenoid, acrodermatitis papular infatile, Gianotti crosti sindrom, papular acrodermatitis of childhood, papulovesicular acro located syndrom(1).
Sedangkan secara klinis akrodermatitis dijelaskan sebagai suatu kelainan kulit pada anak yang disertai dengan gejala ringan berupa panas dan malaise, yang dikaitkan dengan adanya infeksi virus hepatitis B ataupun infeksi virus lainnya. Pada kelainan ini biasanya lesinya simetrik, papul berwarna merah tembaga berbentuk datar, berkilat, berbentuk garis linear(1).
Akrodermatitis dapat mengenai semua suku bangsa, perbandingan wanita dan laki laki sama(2). Sedang faktor usia sering terjadi pada anak anak, menurut Albert sering pada usia antara 3 bulan sampai 7 tahun. Dan menurut Timolty antara umur 1 sampai 6 tahun.
1. Definisi.
Akrodermatitis adalah suatu kelainan kulit yang tidak berbahaya yang disertai gejala demam dan malaise, yang terkait dengan suatu infeksi virus maupun bakteri. Yang tersering terinfeksi virus Hepatitis B(1).
2. Epidemiologi.
Akrodermatitis merupakan penyakit yang jarang ditemukan, tersering menyerang pada usia anak anak, dimulai sejak usia 3 bulan sampai 7 tahun yang rata rata berkisar pada usia 2 tahun. Akrodermatitis tidak ditemukan pada usia dewasa. Untuk jenis kelamin tidak dibedakan, baik pada wanita maupun laki laki perbandingannya sama. Begitu pula dengan suku bangsa tidak dapat dibedakan semua dapat terkena(7).
Di Amerika Serikat kasus akrodermatitis insidensinya tidak diketahui secara pasti hal ini dimungkinkan karena kasusnya sangat jarang dan tidak berbahaya(2).
Di Italia dilaporkan bahwa insiden akrodermatitis sejak tahun 1955 sampai 1989 sekitar 308 pasien. Dan penyakit ini menyebar di Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Jepang(5).
Di Indonesia sendiri belum ada data yang pasti tentang insiden akrodermatitis selama ini.

3. Etiologi.
Pada mulanya akrodermatitis diduga karena infeksi virus hepatitis B, tetapi sekarang telah disepakati penyebab akrodermatitis bermacam macam. Hal ini terbukti di negara Jepang, Italia penyebabnya virus hepatitis, sedangkan di Amerika Serikat penyebab tersering Ebstein Barr Virus(3).
Beberapa penyebab akrodermatitis dikelompokkan sebagai berikut(5) :
a. Infeksi virus.
• Hepatitis A, B, dan C
• Rotavirus
• Ebstein Barr virus
• Rubella virus
• Cytomegalovirus
• Coxsackieviruses A16, B4 dan B5
• Adenovirus
• Enterovirus
• Respiratory syncytial virus
• Virus parainfluenza
• Parvovirus B19

b. Infeksi bakteri.
• Group β hemolitik streptococcus
• Mycobacterium avium intracelullar.
c. Imunitas.
• Polio
• Difteria
• Influenza
• Pertusis

4. Patofisiologi.
Timbulnya exanthem atau demam yang disertai gejala erupsi kulit karena adanya reaksi hipersensitif tipe IV. Dimana terjadi akibat limfosit yang tersensitivitasi mengadakan reaksi dengan antigen virus atau bakteri yang berlokasi disekitar pembuluh darah dermis, kemudian terjadi interaksi antigen antibodi (immunohistochemical) yang mengakibatkan pelepasan bermacam macam limfokin sehingga terjadi peradangan pada kulit(5).
Sedangkan pada pemeriksaan imunofluoresensi direct pada kulit hasilnya selalu negatif.



5. Manifestasi Klinik.
Pasien datang dengan keluhan adanya ruam atau exanthem yang timbul secara akut dengan disertai adanya tanda tanda infeksi, demam dan malaise. Ruam biasanya timbul 2-4 minggu atau bisa juga selama 4 bulan, tidak gatal, kecuali bila ruam lebih dari 3 minggu(2).
Ruam berupa papul papul merah kecoklatan atau seperti merah tembaga yang distribusinya simetrik ,diskret ataupun membentuk garis linear. Biasanya tempat prediksinya paling sering pada ektremitas, wajah, dan pantat tetapi dapat juga pada telapak tangan dan telapak kaki walaupun sangat jarang. Gejala lainya dapat terjadi pembesaran abdomen, hal ini karena liver dan lien yang membesar(8).

6. Pemeriksaan Fisik.
• Pada kulit tampak adanya papul papul yang berwarna merah kecoklatan atau seperti merah tembaga dengan ukuran 2-5mm, datar dan berkilat tidak gatal,dan distribusinya simetrik, diskret (terpisah satu dengan lain) atau membentuk garis linear(6),
• Daerah predileksi : wajah, ektremitas (tangan, kaki) bagian ektensor, pantat. Kadang kadang dapat mengenai telapak tangan dan telapak kaki(1).
• Jika akibat infeksi virus Hepatitis dapat ditemukan anicterik adanya hepatosplenomegali, limfadenopati.
• Jika penyebabnya streptococcus pada sistem respirasi atas dapat dijumpai adanya lesi di mukosa, pembengkakan pada tonsil dan pharing merah(6). Sedang untuk penyebab lain belum diterangkan secara terperinci.

7. Pemeriksaan Penunjang.
 Laboratorium.
• Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan lymphosytosis dan monositosis.
• Sedang pada kasus yang etiologinya virus hepatitis pada pemeriksaan faal hati didapatkan adanya peningkatan enzim transaminase dan ditemukannya antibody antivirus (AntiHBsAg).
• Untuk mengetahui etiologi yang lain dapat dilakukan pemeriksaan:
 Untuk Ebstein Barr Virus dapat dilakukan IgM dan IgG titer
 Untuk Respiratoric Syncytial Virus dilakukan test fluorescent antibody
 Enterovirus dapat dilakukan dengan kultur atau polimerasi chain reaktive
 Group beta hemolitik streptococcus dapat dilakukan kultur.


 Histopatologi.
Pada biopsi kulit pada epidermis diperoleh spongiosis fokal, parakeratosis dan acantholisis ringan. Pada dermis disekitar vaskular terdapat infiltrat lymphosit dan histiosit.

8. Diagnosa Banding.
Akrodermatitis dapat dibedakan dengan penyakit lain yang mempunyai ujud kelainan kulit yang serupa yakni(2) :
• Dermatitis kontak iritan
• Drug Eruption
• Lichen Nitidus
• Lichen Planus
• Pityriasis lichenoidis
• Pityriasis rosea
• Sarcoidis
• Scabies
• Histiositosis sel langerhans
• Erytema Multiforme
• Insect Bite
• Moluscum Contangiosum
Pada diagnosa diferential diatas yang membedakan dengan acrodermatitis yakni dari segi etiologi, distribusi dan tempat predileksi.


9. Terapi.
Sebenarnya tidak ada terapi khusus untuk acrodermatitis, penanganannya hanya bersifat symtomatik.
• Dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti Triamcinolone 0,1% cream. Efektivitasnya terhadap antipruritus hanya minimal, tetapi untuk inflamasi efektivitasnya sangat maksimal. Obat ini kerjanya menekan penyebaran leukosit polimorphonuklear dan mengembalikan permeabiltas kapiler pembuluh darah.
• Pemberian antihistamin seperti Hidroxyzine memberi hasil yang sangat memuaskan sebagai anti pruritus. Sifat dari obat ini adalah reseptor antagonis H1 pada perifer dan dapat menekan aktivitas histamin pada subcortical pada sistem syaraf pusat.
• Untuk pasien dengan etiologinya yang diketahui dapat dikonsulkan juga pada ahlinya seperti dengan infeksi virus hepatitis maka dapat dikonsultasikan pada dokter specialis gastroenterology anak.
• Sedang untuk memantau perkembangan penyakitnya (follow up) dapat dilakukan setelah 2 bulan pengobatan untuk mengetahui adanya perbaikan dari lesinya, sedang untuk penyakit yang mendasarinya follow up diperlukan untuk memantau kadar transaminase yang semula tinggi sampai diharapkan mencapai normal.

10. Komplikasi.
Sejauh ini belum ada komplikasi yang nyata pada kelainan kulitnya, tetapi untuk komplikasi penyakit yang mendasarinya dapat berupa penyakit liver yang kronis(7).

11. Prognosis
Prognosis dari akrodermatitis biasanya baik, karena kelainan ini tidak berbahaya dan dapat sembuh sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, Acrodermatitis definition, April, 2003, htt :// www.unair.com//.
2. Albert G.Y. , Gianotti –Crosti Syndrome (Papular Acrodermatitis of Chillhood, Desember, 2002, http :// www.medicine.com //.
3. Cristopher J.R , Acrodermatitis Overview, Cause and Risk Factors, Oktober, 2002, htt :// www.raredisease.org //
4. Dorland, Medical Dictionary, 1996, htt :// www.yahoo.com //
5. Howard P., Gianotti Crosti Syndrome, journal American Academy of Dermatology, March, 2003, http :// www.aad.org //
6. Lehree M, Acrodermatitis Symptoms and Sign, University of Pennsylvania Medical Center, January, 2002, Philadelphia, htt: // www.urac.org //
7. Timothy G.W. , Eleana E.S , Acrodermatitis, November, 2001, htt :// www.google.com //.
8. Wagner A. , Gianotti Crosti and Frictional lichenoid dermatitis, 1999, htt :// www.dermatology.com //

Dermatitis

Dermatitis merupakan epidermo-dermatitis dengan gejala subyektif pruritus. Obyektif tampak inflamasi eritema, vesikula, eksudasi, dan pembentukan sisik. Tanda-tanda polimorfik tersebut tidak selalu timbul pada saat yang sama. Penyakit bertendensi residif dan menjadi kronis.

Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui, sebagian besar merupakan respon kulit terhadap agen-agen, misalnya zat kimia, protein, bakteri, dan fungus. Respons tersebut dapat berhubungan dengan alergi. Alergi iala perubahan kemampuan tubuh yang didapat dan spesifik untuk bereaksi.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi karena pajanan ulang pada kulit secara langsung dengan substansi alergenik, dan mekanisme yang mendasari proses terjadinya DKA termasuk reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)
DERMATITIS
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, linefikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Sinonim dermatitis adalah eksem. Ada yang membedakan antara dermatitis dan eksem, tetapi pada umumnya menganggap sama.
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia, fisik (contoh : sinar), mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui pasti.
Banyak macam dermatitis yang belum diketahui patogenesisnya, terutama yang penyebabnya fakktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang dermatitis kontak, baik yang tipe alergik maupun iritan primer.
Pada umumnya penderita dermatitismengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula tidak tegas, penyebarannya dapat setempat, generalisata, bahkan universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (medidans). Stadium subakut, eritema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis tampak lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul, mungkin juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu harus polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan klasifikasi dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya yang multi faktor, tetapi juga karena seseorang dapat menderita lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu yang bersamaan atau bergantian.
Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh : dermatitis kontak, radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi (contoh : dermatitis papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis medidasns, dermatitis eksfoliativa), bentuk (contoh : dermatitis numularis), lokalisasi (contoh : dermatitis interdigitalis, dermatitis intertriginosa, dermatitis manus, dermatitis generalisata), dan ada pula yang berdasarkan lama atau stadium penyakit (contoh : dermatitis akut, dermatitis subakut, dermatitis kronis)>
Perubahan histopatologi dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis, bergantung pada stadiumnya.
Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa vesikel atau bula, spongiosis, edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel mononuklear. Dermis sembab, pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan terutama sel mononuklear; eosinofil kadang ditemukan, bergantung pada penyebab dermatitis.
Kelainan pada stadium subakut hampir seperti stadium akut, jumlah vesikel di epidermis berkurang, spongiosis masih jelas, epidermis tertutup krusta, dan parakeratosis; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih tampak jelas, demikian pula sebukan sel radang.
Epidermis pada stadium kronis, hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, rete ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan; vesikel tidak ada lagi. Papila dermis memanjang (papilamatosis), dinding pembuluh darah menebal, dermis terutama di bagian atas bersebukan sel radang mononuklear, jumlah fibroblas dan kolagen bertambah.
Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang juga tidak diketahui pasti, maka pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan menghilangkan/mengurangi keluhan dan menekan peradangan.
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin, atau antihistamin dikombinasi dengan antiserotonin, antibradikinin, anti-SRA, dan sebagainya. Pada kasus akut dan berat dapat diberi kortikosteroid.
Prinsip umum terapi topikal diuraikan di bawah ini:
1. Dermatitis akut/basah (medidans) harus diobati secara basah (kompres terbuka). Bila subakut, diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum (pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedang pasta pada daerah yang tidak berambut. Bila kronik, diberi salap.
2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik.

II. 2. DERMATITIS KONTAK IRITAN
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin.
Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat.
ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, kohikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu : lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang) adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian juga gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Faktor individu juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah umur 8 tahun lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan dari pada kulit putih); jenis kelamin (insidens dermatitis kontak iritan lebih tinggi pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik.


PATOGENESIS
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan irisan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Keadan ini akan merusak sel epidermis.
Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
GEJALA KLINIS
Sebagaimana disebabkan diatas bahwa ada dua jenis bahan iritan, maka dermatitis kontak iritan juga ada dua macam yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronis.
Dermatititis kontak iritan akut
Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas.
Pada umumnya kelainan kulit muncul segera, tetapi ada segera, tetapi ada sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih setelah esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
Dermatitis kontak iritan kronis
Nama lain ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak dengan iritan lembah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi oleh karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang beresiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya : mencuci, memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel dan berkebun.

HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada dermatitis kontak iritan akut (oleh iritan primer), dalam dermatitis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear dan determis bagian atas. Eksositosis di epidermis disertai spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis ini dapat menimbulkan bula subepidermal.
DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak irita kronis, timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
PENGOBATAN
Upaya pengobatan dermatitis kontak iritan yang terpenting adalah menyingkirkan pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik maupun kimiawi. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka dermatitis iritan tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis bisa diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan, untuk mencegah kontak dengan bahan tersebut.
PROGNOSIS
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada dermatitis kontak iritan kronis yang penyebabnya multi faktor.

II. 3. DERMATITIS KONTAK ALERGIK
EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat.

ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat (delayed hypersensitivit), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses leh makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lembah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
GEJALA KLINIS
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak :
Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula kebanyakan dermatitis kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen, dan pestisida.
Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila umumnya oleh bahan pengharum.
Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, obat topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, eyeshadows, dan obat mata.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, hearing-aids.
Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.
Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen.
Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita, dan alergen yang ada di tangan.
Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (misalnya anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu.
DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.
UJI TEMPEL
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtika sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi tipe cresendo).
PENGOBATAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta eksufatif (madidans), misalnya prednison 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal.
PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A., Djuanda S., Hamzah M., Aisah S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kedua, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993

Arnold HL., Odom RB., James WD., Andrew’s Dissease of Skin, 8th ed, London : WB Sauders Co., 1990, 89-114

Larsen WG, Allergic Contact Dermatitis, In : Moschella SL., Hurley HJ, Dermatology, 3rd ed, London : WB Sauders Co., 1992, 391-400

Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita (Budimulja, 2005).

Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton (Madani, 2000). Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing dua spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum dan 21 spesies Trichophyton (Budimulja, 2005).
Angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari prosentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga prosentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis (Adiguna, 2001).
Topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan daerah permukaan tertentu, seperti anti infeksi topikal yang dioleskan pada daerah tertentu di kulit dan yang hanya mempengaruhi daerah yang dioles tersebut (Dorland, 1996).
Pengobatan topikal pada dermatofita menjadi hal penting untuk diketahui oleh tenaga medis, sehingga memerlukan informasi terapi yang tepat tehadap setiap penyakit dermatofita.
II. 1. Dermatofita
Menurut Madani (2000) golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda, tergantung letak lokasi anatominya.
A. Tinea Kapitis
Dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut ini umumnya menyerang anak prapubertas. Jamur menyerang stratum korneum dan masuk ke folikel rambut yang selanjutnya akan menyerang bagian luar atau sampai ke bagian dalam rambut, bergantung pada spesiesnya (Daili, dkk., 2005).
Menurut Madani (2000) ada tiga bentuk klinis tinea kapitis, yaitu :
1. Grey patch ringworm
Bentuk ini terutama disebabkan oleh Microsporum audouinii (Mulyono, 1986). Bentuk ini ditemukan pada anak-anak dan biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil di sekitar folikel rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai grey patch. Bercak abu-abu ini sulit terlihat batas-batasnya dengan pasti bila tidak menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan dengan lampu Wood memberikan fluoresensi kehijau-hijauan sehingga batas-batas yang sakit dapat terlihat jelas.
2. Kerion
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis (Mulyono, 1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.
3. Black dot ringworm
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik hitam.
Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 2005).
B. Tinea Favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum dan Microsporum gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus pada kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen. Kadang kulit halus dan kuku dapat terkena.
Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut luas, kulit mengalami atrofi dan sembuh dengan jaringan parut permanen.
Penegakan diagnosis tinea favosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan menemukan miselium, air bubbles yang bentuknya tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau pudar (dull green) (Madani, 2000).
C. Tinea Korporis
Tinea korporis atau tinea sirsinata adalah infeksi jamur golongan dermatofita (berbagai spesies Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton) pada badan, tungkai dan lengan dan mempunyai gambaran morfologi yang khas (Daili, dkk., 2005).
Menurut Madani (2000) penyebab tersering penyakit ini adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.
Pasien merasa gatal dan kelainan umumnya berbentuk bulat, berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorf) dengan bagian tepi lesi lebih jelas tanda peradangannya daripada bagian tengah. Beberapa lesi dapat bergabung dan membentuk gambaran polisiklis. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi. Pada kasus dermatofitosis dengan gambaran klinis tidak khas, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kulit dengan larutan KOH 10-20 % (Daili, dkk., 2005).
Diagnosis banding tinea korporis adalah morbus hansen, pitiriasis rosea dan neurodermatitis sirkumskripta (Siregar, 2005).
D. Tinea Imbrikata
Tinea imbrikata adalah dermatofitosis kronik rekuren disebabkan Trichophyton concentricum. Di indonesia penyakit ini ditemukan endemis di wilayah tertentu, antara lain Papua, Sulawesi, Sumatra dan pulau-pulau bagian tengah Indonesia Timur, terutama pada masyarakat terasing. Kerentanan terhadap penyakit ini diduga diturunkan secara genetik dengan pola penurunan autosomal resesif.
Gambaran klinis pada kulit berupa lingkaran-lingkaran konsentris terdiri atas lesi papuloskuamosa, dengan stratum korneum yang lepas sisi bebasnya menghadap ke arah dalam lesi, sehingga tampak tersusun seperti genting. Pada keadaan kronik rasa gatal tidak menonjol (Daili, dkk., 2005).
E. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Penyebabnya biasanya adalah Epidermophyton floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Trichophyton rubrum.
Gambaran klinik biasanya adalah lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri. Mula-mula lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal, yang lama-kelamaan meluas sehingga dapat meliputi skrotum, pubis, glutea bahkan sampai paha. Tepi lesi aktif, polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil.
Diagnosis banding tinea kruris meliputi dermatitis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis kontak dan psoriasis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung memakai larutan KOH 10-20 % (Madani, 2000; Siregar, 2005).
F. Tinea Manus dan Pedis
Tinea manus dan pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum.
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan (Madani, 2000).
Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk klinis tinea manus dan pedis yang sering dijumpai, yakni :
1. Bentuk intertriginosa
Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, selulitis dan erisipelas yang disetai gejala-gejala umum.

2. Bentuk vesikular akut
Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.
3. Bentuk mocassin foot
Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi.
Diagnosis banding untuk tinea manus adalah dermatitis kontak alergika, dermatitis dishidrotik dan dermatitis numularis. Diagnosis banding untuk tinea pedis adalah kandidiasis, akrodermatitis perstans dan pustular bacterid (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20 % yang menunjukkan elemen jamur (Madani, 2000).
G. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita. Penyebab penyakit yang tersering adalah Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum.
Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan penderita berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram. Bergantung penyebabnya, destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral ataupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar kuku akan terasa nyeri dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan sukar penyembuhannya (Madani, 2000).
Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk gejala klinis tinea unguium, yakni :
1. Bentuk subungual distalis
Penyakit ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.
2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita
Bentuk ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur.
3. Bentuk subungual proksimal
Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan.
Diagnosis banding adalah onikodistrofi oleh karena kandida albikans, onikodistrofi akibat trauma dan psoriasis pada kuku (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau dilakukan biakan untuk menemukan elemen jamur (Madani, 2000).
II. 2. Pengobatan Topikal
Menurut Djuanda (1994) ada dua pedoman dalam pengobatan topikal, yaitu :
1. a. Basah dengan basah
Berarti jika dermatosis basah (eksudatif) diobati dengan kompres terbuka. Tetapi prinsip ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan peradangan hebat.
b. Kering dengan kering
Berarti jika dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya salep.
2. Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktif yang dipakai
Berarti pada dermatosis yang akut jangan diberi terapi dengan bahan aktif yang kuat, yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat.
Menurut Hamzah (2005) prinsip obat topikal secara umum terdiri atas dua bagian yaitu bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahan dasar (vehikulum)
Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan ialah pada keadaan yang membasah dipakai bahan dasar yang cair atau basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat atau kering, misalnya salep. Secara sederhana bahan dasar dibagi menjadi tiga yaitu cairan, bedak dan salep. Disamping itu ada dua campuran atau lebih bahan dasar, yaitu bedak kocok (lotion), krim, pasta dan linimen.
a. Cairan
Cairan terdiri atas solusio (larutan dalam air) dan tinctura (larutan dalam alkohol). Solusio dibagi dalam kompres, rendam (bath) dan mandi (full bath). Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan atau pecahnya vesikel, bula dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis. Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara teliti. Kalau keadaan sudah mulai kering, maka pemakaiannya dikurangi dan kalau perlu dihentikan untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai daripada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi. Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. Kompres terdiri dari dua macam, yaitu kompres terbuka dan kompres tertutup. Kompres terbuka dasarnya adalah penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus. Indikasinya meliputi dermatosis madidans, infeksi kulit dengan eritem yang mencolok (misalnya erisipelas) dan ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta (Hamzah, 2005). Menurut Hardyanto (1990) cara kompres bekerja pada radang akut melalui :
1) Penguapan air akan menarik kalor dari lesi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang mengakibatkan eritem berkurang.
2) Vasokonstriksi memperbaiki permeabilitas vaskuler, sehingga pengeluaran serum dan udem berkurang.
3) Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit, sehingga mudah terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta ini akan mengurangi sarang makanan untuk bakteri dari cairan yang terperangkap di bawah krusta.
Kompres tertutup (kompres impermeabel) dasarnya adalah vasodilatasi, bukan untuk penguapan. Indikasinya ialah kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venereum (Hamzah, 2005).
b. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat erat sehingga penetresinya sedikit sekali. Efek bedak ialah mendinginkan, antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, antipruritus lemah, mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat (intertrigo) dan proteksi mekanis. Pengobatan dengan bedak yang diharapkan terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya ialah talkum venetum. Bedak biasanya dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak ialah dermatosis yang kering dan superfisial, mempertahankan vesikel atau bula agar tidak pecah. Kontraindikasinya adalah dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder (Hamzah, 2005). Jika terjadi eksudat atau pus, maka campuran bedak dengan eksudat merupakan adonan yang memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda, 1994).
c. Salep
Salep ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Indikasinya adalah dermatosis yang kering dan kronik, dermatosis yang dalam dan kronik dan dermatosis yang bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan salep tidak dianjurkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh (Hamzah, 2005).
d. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi kering maka jumlah zat padat maksimal 40 % dan jumlah gliserin 10 – 15 %. Hal ini berarti jika beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka prosentase tersebut jangan terlampaui. Indikasi digunakan bedak kocok adalah dermatosis yang kering, superfisial dan agak luas, serta dermatosis pada keadaan sub akut. Kontraindikasinya ialah dermatitis madidans dan daerah badan yang berambut (Hamzah, 2005).
e. Krim
Krim adalah emulsi O/W (oil in water) atau W/O (water in oil). Kombinasi antara minyak dengan air ditambah emulgator menghasilkan emulsi W/O atau O/W, bergantung pada susunan komponen di atas. Krim W/O (cold cream) lebih cocok dipakai waktu malam karena melengket lebih lama di kulit. Krim O/W (vanishing cream) lebih cocok dipakai waktu siang karena lebih cair dan tidak lengket (Madani, 2000). Indikasi digunakan krim ialah indikasi kosmetik, dermatosis yang subakut dan luas, dan boleh digunakan di daerah yang berambut. Kontraindikasi untuk krim W/O ialah dermatitis madidans (Hamzah, 2005).
f. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah. Kontraindikasinya ialah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan karena terlalu melekat (Hamzah, 2005). Sekarang pasta jarang dipakai karena pengolesan dan pembersihannya lebih sulit (Madani, 2000).
g. Linimen
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salep. Indikasi penggunaanya yaitu pada dermatosis yang subakut. Kontraindikasinya yaitu dermatosis madidans (Hamzah, 2005).
Menurut Hamzah (2005) ada vehikulum lain yaitu gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidrofilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel di antaranya ialah karbomer, metilselulosa dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi sangat jernih dan halus. Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim.
2. Bahan aktif
Pemilihan obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimasukkan ke dalam vehikulum, yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko-kimia permukaan kulit, di samping komposisi formulasi zat yang dipakai.
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek vehikulum terhadap kulit.
Bahan-bahan aktif yang biasa digunakan pada penyakit kulit secara umum di antaranya ialah alumunium asetat, asam asetat, asam benzoat, asam borat, asam salisilat, asam undesilenat, asam vitamin A (tretionin, asam retinoat), benzokain, benzil benzoat, camphora, kortikosteroid topikal, mentol, padofilin, selenium disulfid, sulfur, ter, tiosulfas natrikus, urea, zat antiseptik, antibiotik dan antifungal (Djuanda, 1994; Hamzah, 2005).
II. 3. Obat Antijamur Topikal
Menurut Kuswadji dan Widaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah obat yang aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula yang beragam, efek samping minimal atau bahkan tidak ada, dengan formula yang spesifik (misalnya untuk kuku dan mukosa) dan mempunyai manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa menyertai infeksi jamur (misalnya antiinflamasi, keratolitik dan antibakteri).
Obat topikal yang diperuntukkan pada infeksi dermatofita berdasarkan mekanisme kerjanya meliputi :
1. Bahan kimia antiseptik
Mempunyai sifat antibakteri dan antijamur ringan serta bersifat mengeringkan, misalnya Cestallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan untuk kasus tinea kruris dan kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat dindikasikan untuk tinea unguium, tinea imbrikata dan tinea korporis (Kuswadji dan Widaty, 2001; Siregar, 2005).
2. Bahan keratolitik
Yaitu bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep Whitefield mengandung asam salisilat 3 %, asam benzoat 6 % dalam petrolatum, dikatakan efektif bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 %. Asam salisilat pada konsentrasi rendah (1 – 2 %) berefek keratoplastik, konsentrasi tinggi (3 – 20 %) berefek keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang hiperkeratotik dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 %) dipakai untuk kelainan-kelainan yang dalam. Asam salisilat berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi 3 – 6 % dalam salep, selain itu berkhasiat bakteriostasis lemah. Asam salisilat tidak dapat dikombinasikan dengan seng oksida karena akan terbentuk garam sengsalisilat yang tidak aktif. Asam benzoat mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna untuk pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea korporis. Asam undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada tinea unguium (Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Hamzah, 2005; Siregar, 2005).
3. Golongan allilamin
Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki efektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 – 100 %. Naftitin merupakan obat antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang sintetis. Dapat menurunkan ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur. Pada konsentrasi 1 % memiliki daya antiinflamasi. Tersedia dalam bentuk krim, gel atau solusio 1 %. Penderita tinea korporis dewasa maupun anak-anak cukup dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea kruris 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Tinea pedis dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 % atau 2 kali sehari dalam bentuk gel 1 %. Terbinafin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang menghambat epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur yang menghasilkan defisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian menemukan bahwa obat ini efektif dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak. Terbinafin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis baik dewasa maupun anak-anak dalam waktu 1 – 4 minggu. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (>12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim (Cholis, 2001; Kuswadji dan Widaty, 2001; Lesher, 2004; Rubiez, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat naftitin yaitu exoderil dan contoh nama merk dagang obat terbinafin yaitu interbi, lamisil dan termisil (Evaria, 2005).
4. Golongan benzilamin
Butenafin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin yang bersifat fungisidik terhadap dermatofit, seperti Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton rubrum yang menyebabkan infeksi-infeksi tinea. Butenafin bekerja pada stadium yang lebih dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi skualen dan kematian sel jamur. Sifat fungisidik butenafin menyebabkan masa pengobatan yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi dan angka kekambuhan yang rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Contoh nama merk dagang obat butenafin adalah mentax (Cholis, 2001; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
5. Golongan imidazol
Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi bekerja fungisid terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 – 100 %. Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran sel (Gonzales, 1987 cit Hardyanto, 1990; Cholis, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003). Golongan imidazol meliputi :
a. Mikonazol
Derivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja lebar sekali. Lebih aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lainnya. Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman Gram positif kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2 %, bedak kocok ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 – 6 minggu dalam bentuk krim 2 % atau bedak kocok. Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat mikonazol yaitu micoskin, mexoderm dan daktarin (Evaria, 2005).
b. Klotrimazol
Derivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis yang relatif lebih sempit daripada mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman Gram positif. Penderita tinea pedis dan tinea korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 – 6 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio, sedangkan pada anak-anak tidak tersedia. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %, solusio ataupun bedak kocok (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat klotrimazol yaitu canesten, lotremin dan fungiderm (Evaria, 2005).
c. Ketokonazol
Ketokonazol adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral (1981). Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 2 %. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 2 % (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat ketokonazol yaitu formyco, nizoral dan mycozid (Evaria, 2005).
d. Ekonazol
Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor diganti oleh atom H. Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktif terhadap Aspergillus. Obat ini efektif untuk infeksi kutaneus. Titik tangkapnya berhubungan dengan metabolisme sintesis RNA dan protein, mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 %. Contoh nama merk dagang obat ekonazol adalah pevaryl (Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
e. Oksikonazol
Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 %. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau bedak kocok. Contoh nama merk dagang obat oksikonazol adalah oxistat (Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
f. Sulkonazol
Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 – 4 minggu dalam bentuk krim 1 % atau solusio. Contoh nama merk dagang obat sulkonazol adalah exelderm (Wiederkehr, 2004).
g. Sertakonazol
Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktif melawan Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Diindikasikan untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari baik dewasa maupun anak-anak (> 12 tahun). Contoh nama merk dagang obat sertakonazol adalah ertaczo (Rubeiz, 2004).
h. Bifonazol
Bifonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa jenis jamur dan ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa kuman Gram positif. Bifonazol bermanfaat pada pengobatan tinea unguium dalam bentuk losio atau krim yang dikombinasikan bersama urea 40 % dengan bebat (Madani, 2000; Tjay dan Rahardja, 2003). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat bifonazol yaitu mycospor (Evaria, 2005).

6. Golongan lainnya
a. Siklopiroks
Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat fungisid terhadap Candida albican dan Trichophyton rubrum, fungistatis terhadap Malassezia furfur (panu), lagi pula bekerja bakteriostatis lemah. Walaupun struktur kimianya berbeda dengan zat-zat imidazol, tetapi mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu terhadap membran plasma sel jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan perintah transpor dari asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya kerjanya diperkuat bila dibuat ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara dermal. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 10 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim 1 %, jika tidak ada perbaikan setelah 4 minggu maka perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga berlaku pada penderita tinea kruris dan tinea kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan dapat berpenetrasi melalui semua lapisan kuku pada kasus tinea unguium namun memiliki efikasi yang rendah sehingga perlu kombinasi dengan obat antijamur oral. (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Blumberg, 2005; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat siklopiroks yaitu batrafen dan loprox nail lacquer (Evaria, 2005).



b. Tolnaftat
Tonaftat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang sangat efektif terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum orbiculare tetapi tidak terhadap Candida. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat epoksidasi skualen pada membran sel jamur. Biasanya digunakan 2 kali sehari selama 2 – 4 minggu dan dilanjutkan 2 minggu setelah gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusio dan bedak. Tolnaftat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis dan tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaftat adalah tinactin (Hardyanto, 1990; Wiederkehr, 2004, Siregar, 2005).
c. Haloprogin
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum, Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 % dan solusio. Biasanya digunakan dalam waktu 2 – 4 minggu. Contoh nama merk dagang obat haloprogin adalah halotex (Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004).
Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat antijamur oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinafin, karena jika hanya mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas sehingga tidak efektif (Blumberg, 2005). Pengobatan tinea manus pada prinsipnya sama dengan pengobatan yang dilakukan pada tinea pedis (Madani, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, M.S., 2001, Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia, dalam Budimulja, U., Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty, S. (eds), Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 1 – 6.
Anonim, 2003, Fungus Infections : Tinea, http://www.aocd.org/skin
Blumberg, M., 2005, Onychomycosis, http://www.emedicine.com/derm
Budimulja, U., 2005, Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 89 – 105.
Cholis, M., 2001, Penatalaksanaan Tinea Glabrosa Dan Perkembangan Obat Antijamur baru, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang : 21 – 24.
Daili, E.S.S., Menaldi S.L. dan Wisnu, I.M., 2005, Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar, PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta : 27 – 37.
Djuanda, A., 1994, Pengobatan Topikal Dalam Bidang Dermatologi, Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
Dorland, 1996, Kamus Kedokteran Dorland, dalam Harjono, R.M., Oswari, J., Ronardy, D.H., Santoso, K., Setio, M., Soenarno, Widianto, G., Wijaya, C. dan Winata, I. (eds), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1937.
Evaria, 2005, MIMS Edisi Bahasa Indonesia, 6th vol, PT InfoMaster, Jakarta : 395 – 398.
Hamzah, M., 2005, Dermatoterapi, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 340 - 350.
Hardyanto, 1990, Antijamur Dalam Dermatologi, dalam Ednawati dan Soedarmadi (eds), Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta : 41 – 58.
Kao, G.F., 2005, Tinea Capitis, http://www.emedicine.com/derm
Kuswadji dan Widaty, S., 2001, Obat Antijamur, dalam Budimulja, U., Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty, S. (eds), Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 99 – 107.
Lesher, J.L., 2004, Tinea Corporis, http://www.emedicine.com/derm
Madani, F., 2000, Infeksi Jamur Kulit, dalam Harahap, M. (ed), Ilmu Penyakit Kulit, Penerbit Hipokrates, Jakarta : 73 – 87.
Mulyono, 1986, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit Dan Kelamin, 1st ed, Meidian Mulya Jaya, Jakarta : 5 – 21.
Robins, C.M., 2005, Tinea Pedis, http://www.emedicine.com/derm
Rubeiz, N., 2004, Tinea, http://www.emedicine.com/derm
Siregar, R.S., 2005, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 10 – 44.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2003, Obat-Obat Penting, 5th, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta: 91 – 104.
Wiederkehr, M., 2004, Tinea Cruris, http://www.emedicine.com/derm

Skabies

Meski sekarang sudah sangat jarang dan sulit ditemukan laporan terbaru tentang kasus skabies diberbagai media di Indonesia (terlepas dari faktor penyebabnya), namun tak dapat dipungkiri bahwa penyakit kulit ini masih merupakan salah satu penyakit yang sangat mengganggu aktivitas hidup dan kerja sehari-hari. Di berbagai belahan dunia, laporan kasus skabies masih sering ditemukan pada keadaan lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek. Rasa gatal yang ditimbulkannya terutama waktu malam hari, secara tidak langsung juga ikut mengganggu kelangsungan hidup masyarakat terutama tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan dilakukannya disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, maka efisiensi dan efektifitas kerja menjadi menurun yang akhirnya mengakibatkan menurunnya kualitas hidup masyarakat. (Kenneth, F,1995).

Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di puskesmas selurauh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6 % - 12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 704 kasus skabies yang merupakan 5,77 % dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6 % dan 3,9 % (Sungkar,S, 1995).
II.1. Sinonim.
Kudis, The Itch, Gudig, Budukan, Gatal Agogo (Handoko, R, 2001).
II.2. Definisi.
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. (Handoko, R, 2001).
II.3. Epidemiologi.
Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % - 27 % populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. (Sungkar, S, 1995).
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam P.H.S. (Penyakit akibat Hubungan Seksual). (Haandoko, R, 2001).



II.4. Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda , kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Kecuali itu terdapat S. scabiei yang lainnya pada kambing dan babi.
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari.(Handoko, R, 2001).
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi. ( Mulyono, 1986).
Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (Andrianto dan Tang Eng Tie, 1989).
II. 5. Patogenesis.
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.(Handoko, R, 2001).

II.6. Cara Penularan.
Penyakit scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan, bahwa scabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual meskipun bukan merupakan akibat utama. (BrownT.Y. et al, 1999).
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relative sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada. (Benneth, F.J., 1997).
Penularan scabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat penduduk. Dibeberapa sekolah didapatkan kasus pruritus selama beberapa bulan yang sebagian dari mereka telah mendapatkan pengobatan skabisid. (Meyer, J. et al, 2000).
II.7. Gejala Klinis.
Ada 4 tanda cardinal (Handoko, R, 2001) :
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut.
II.8. Klasifikasi.
Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Sungkar, S, 1995):
1. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated).
Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.
2. Skabies incognito.
Bentuk ini timbul pada scabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.
3. Skabies nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau scabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti scabies dan kortikosteroid.
4. Skabies yang ditularkan melalui hewan.
Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, perut, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 – 8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S. scabiei var. binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.
5. Skabies Norwegia.
Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembangbiak dengan mudah.

6. Skabies pada bayi dan anak.
Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi di muka. (Harahap. M, 2000).
7. Skabies terbaring ditempat tidur (bed ridden).
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas. (Harahap. M, 2000).
II.9. Pembantu Diagnosis.
Cara menemukan tungau (Handoko, R, 2001):
1. Carilah mula-mula terowongan, kemudian pada ujung yang terlihat papul atau vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakkan diatas sebuah kaca objek, lalu ditutup dan dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung diatas selembar kertas putih dan dilihat dengan kaca pembesar.
3. Dengan membuat biopsi irisan. Caranya : lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau dan diperiksa dengan mikroskop cahaya.
4. Dengan biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin.



II.10. Diagnosis.
Diagnosis scabies ditegakkan atas dasar (Harahap.M, 2000):
1. Ada terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm dan pada ujungnya tampak vesikula, papula atau pustula.
2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilicus, abdomen bagian bawah, genitalia eksterna pria.Pada oaring dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit.
3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat anti skabies topical yang efektif.
4. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya skabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperature tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.
II.11. Diferensial Diagnosis.
Diagnosis bandingnya adalah (Siregar, R.S,1996):
1. Prurigo, biasanya berupa papel-papel yang gatal, predileksi pada bagian ekstensor ekstremitas.
2. Gigitan serangga, biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya urtikaria papuler.
3. Folikulitis, nyeri berupa pustule miliar dikelilingi daerah yang eritem.
II.12. Terapi.
Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan seksnya. Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan scabies yaitu:
1. Permetrin.
Merupakan obat pilihan untuk saat ini , tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah pemakaiannya dan tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan leher anak usia kurang dari 2 tahun. Penggunaannya dengan cara dioleskan ditempat lesi lebih kurang 8 jam kemudian dicuci bersih
(http://www.medinfo.co.uk/condition/scabies.html).
2. Malation.
Malation 0,5 % dengan daasar air digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian.(Harahap. M, 2000).
3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25 %).
Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Sering terjadi iritasi dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai. (Handoko, R, 2001).
4. Sulfur.
Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10 % secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5 % dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam. (Harahap, M, 2000).


5. Monosulfiran.
Tersedia dalam bentuk lotion 25 %, yang sebelum digunakan harus ditambah 2 – 3 bagian dari air dan digunakan selam 2 – 3 hari. (Harahap, M, 2000).
6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan).
Kadarnya 1 % dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang terjadi iritasi. Tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala ulangi seminggu kemudian.(Handoko, R, 2001).
7. Krotamiton 10 % dalam krim atau losio, merupakan obat pilihan. Mempunyai 2 efek sebagai antiskabies dan antigatal.(Handoko, R, 2001).
II.13. Prognosis.
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat di berantas dan memberikan prognosis yang baik. (Harahap, M, 2000).

Asiklovir

Asiklovir (ay-SYE-kloe-veer) merupakan obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi akibat virus. Biasanya obat-obatan ini bekerja pada satu jenis atau kelompok dari infeksi virus. Asiklovir digunakan untuk mengobati gejala-gejala cacar air (varisela), herpes zoster, infeksi virus herpes pada genital, kulit, otak, dan membran mukosa (bibir dan mulut), serta infeksi virus herpes pada neonatus. Asiklovir juga digunakan untuk mencegah infeksi herpes genital kambuhan (rekuren). Walaupun asiklovir tidak mengobati herpes, tetapi obat ini dapat mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan dan menghilangkan rasa sakit (jika ada) dengan cepat. Asiklovir juga dapat digunakan pada infeksi virus yang lainnya, akan tetapi obat ini tidak dapat digunakan pada infeksi virus yang pasti seperti pada common cold. 1

II. RIWAYAT ASIKLOVIR

Asiklovir [9-(2-hidroksietoksimetilguanin)] merupakan obat sintetik jenis analog nukleosida purin. Sifat antivirus asiklovir terbatas pada kelompok virus herpes. 2
Asiklovir merupakan prototip sekelompok obat antivirus yang di dalam sel hospes difosforilasikan terlebih dahulu oleh enzim kinase virus, sebelum bekerja menghambat sintesis DNA virus herpes. Pada percobaan in-vitro, virus yang paling sensitive terhadap asiklovir adalah virus herpes simplex-1 (HSV-1, 0.02-0.9 ug/ml), diikuti oleh virus herpes simplex-2 (HSV-2, 0.03-2.2 ug/ml), virus varicella-zoster (VZV, 0.8-4.0 ug/ml), virus Epstein-Barr (EBV, 6.0-7.0 ug/ml), dan cytomegalovirus (CMV, > 20 ug/ml). Sel mamalia yang tidak terinfeksi umumnya tidak dipengaruhi oleh asiklovir, biarpun dosisnya tinggi (> 50 ug/ml). 3

III. MEKANISME KERJA DAN RESISTENSI

Asiklovir memerlukan tiga kali fosforilasi sebelum aktif. Pertama, disfosforilasi menjadi senyawaan monofosfat oleh kinase timidin yang spesifik untuk virus, kemudian diubah menjadi senyawaan di- dan trifosfat oleh enzim kinase yang berasal dari sel hospes. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis DNA melalui dua mekanisme : menghambat deoxyGTP secara kompetitif untuk selanjutnya bereaksi lebih lanjut oleh polymerase DNA, dengan cara mengikat diri pada cetakan DNA membentuk kompleks yang tidak mudah lepas, dan memutus pembentukan rantai DNA virus. 3
Resistensi terhadap asiklovir dapat muncul pada HSV dan VZV melalui perubahan kinase thymidine atau polymerase DNA. Kebanyakan isolat klinis resisten berdasarkan kekurangan aktivitas kinase thymidine, sehingga isolat ini juga resisten terhadap valasiklovir, famsiklovir, dan gansiklovir. Obat lain seperti foscarnet, cidovir, dan trifluridine tidak memerlukan kinase thymidine virus, sehingga tetap aktif terhadap virus yang sudah resisten terhadap asiklovir. 3

IV. FARMAKOKINETIKA

Bioavailabilitas asiklovir yang diberikan per oral berkisar antara 10%-30% dan menurun dengan peningkatan dosis. Kadar puncak rerata adalah 0.4-0.8 ug/ml setelah dosis 200 mg, dan 1.6 ug/ml setelah dosis 800 mg. Setelah pemberian intravena kadar puncak dan lembah pukul rata adalah 9.8 ug/ml dan 0.7 ug/ml, setelah dosis 5 mg/kg/jam, dan 20.7 ug/ml dan 2.3 ug/ml setelah dosis 10 mg/kg/8jam. 3
Asiklovir disebar luas kedalam berbagai cairan tubuh termasuk cairan vesikel, bola mata, dan serebrospinal. Kadar dalam cairan saliva rendah, dan dalam cairan vagina bervariasi, dibandingkan kadarnya dalam plasma. Kadar asiklovir di air susu, cairan amnion, dan plasenta lebih tinggi daripada dalam plasma. Kadar dalam plasma bayi baru lahir sama tinggi dengan kadar dalam plasma i bu. Penyerapan asiklovir melalui kulit setelah pemberian topikal adalah rendah. 3
Rerata waktu paruh eliminasi asiklovir adalah 2.5 jam, dengan kisaran 1.5 sampai 6 jam pada orang dewasa yang ginjalnya baik. Pada neonatus waktu paruhnya adalah 4 jam, pada penderita anuria meningkat jadi 20 jam. Eliminasi asiklovir terutama melalui filtrasi glomerulus dan ekresitubuli. Metabolitnya adalah 9-karboksimetilguanin sebanyak 15%. Farmakokinetik asiklovir pada wanita hamil sama dengan wanita tidak hamil. 3

V. INDIKASI

Asiklovir efektif terhadap infeksi virus herpes simplex (VHS) tipe 1 dan 2, termasuk herpes mukokutaneus jenis kronis dan rekuren pada pasien yang terganggu fungsi imunologiknya (imunocompromised), juga diindikasikan untuk HSV ensefalitis, neonatus dan VZV (varicella-zoster virus). Asiklovir topikal dapat mempersingkat lamanya herpes genital primer tetapi tidak efektif untuk mencegah rekurensinya. Asiklovir tidak efektif untuk infeksi CMV. Pemberian selama kehamilan tidak dianjurkan. 2

VI. PERHATIAN

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemberian asiklovir :
• Apakah penderita alergi terhadap asiklovir, atan golongannya, atau mempunyai alergi terhadap sesuatu misalnya makanan.
• Apakah penderita sedang hamil, walaupun dilaporkan bahwa tidak ada efek terhadap bayi yang dikandung pada ibu yang mengkonsumsi asiklovir.
• Apakah penderita sedang menyapih anaknya Asiklovir dapat melewati air susu walaupun dilaporkan tidak ada efek terhadap si bayi.
• Usia sipenderita karena pada anak-anak berbeda dosisnya dengan orang dewasa
• Penderita usia lanjut, karena golongan ini sistem saraf sentralnya lebih sensitif dibandingkan dewasa muda sehingga sering terjadi agitasi, bingung, pusing dan drowsiness akibat obat ini.
• Apakah penderita sedang menjalani terapi tertentu karena beberapa obat dapat berinteraksi terhadap asiklovir diantaranya :
 Carmustin mis : BICNU
 Cisplatin mis : Platinol
 Kombinasi obat-obatan penghilang nyeri dengna asetaminopen dan aspirin mis : Eksedin atau salisilat lainnya.
 Cyclosporin mis : sandimmune
 Deferoksamin mis : Desferal (dengan pemakaian jangka lama)
 Garam emas (obat-obatan artritis)
 Obat-obatan anti inflamasi atau analgetik keculai narkotik
 Litium mis : Lithane
 Metotreksat (mexate)
 Obat-obatan lain untuk infeksi
 Penisilamin mis : cuprimin
 Plicamycin mis : Mithracin
 streptozocin mis : Zanosari
 Tiopronin (thiola)  pemakaian bersamaan dengan asiklovir dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping khususnya penyakit ginjal
• Masalah-masalah lain, diantaranya :
 Dehidrasi
 Penyakit ginjal dehidrasi atau penyakit ginjal dapat meningkatkan kadar asiklovir, meningkatkan resiko terjadinya efek samping.
 Penyakit sistem saraf  asiklovir dapat memperberat penyakit ini. 1



VII. EFEK SAMPING

Asiklovir umumya dapat ditoleransi dengan baik. Asiklovir topikal dalam larutan polietilen glikol dapat menyebabkan iritasi mukosa dan rasa terbakar bila dioleskan pada lesi genital. Penggunaan asiklovir selama 5 tahun untuk terapi supresi herpes genitalis dinyatakan aman. Tidak terlihat peningkatan cacat bawaan pada wanita hamil yang menggunakan asiklovir. 3
Beberapa pasien melaporkan mual, muntah dan pusing, tetapi efek samping ini jarang sampai memerlukan penghentian pengobatan. Asiklovir dapat mengendap di tubuli renal bila dosis yang diberikan sangat berlebihan atau pada pasien dehidrasi. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan bersihan kreatinin. Pada pasien dengan bersihan ginjal yang kurang, dapat timbul efek samping yang berikut ini : ensefalopati disertai letargi, tremor, halusinasi, kejang dan koma. 2
Asiklovir juga dapat menimbulkan efek samping diantaranya : kelelahan, nyeri terutama pada sendi, rambut rontok, perubahan daya lihat. Sedangkan efek samping yang lebih serius diantaranya :
 bintik-bintik merah yang bengkak dan gatal
 ruam atau kulit melepuh
 gatal
 sulit bernafas atau sulit menelan
 pembengkakan pada wajah, tenggorokan, lidah, mata, tangan, kaki, pergelangan kaki atau tungkai bawah
 serak
 jantung berdebar
 kelemahan
 kulit pucat
 sulit tidur, demam, nyeri tenggorokan, menggigil, batuk dan gejala infeksi lainnya, memar atau perdarahan yang tidak biasa
 hematuria
 nyeri atau kram lambung
 diare berdarah
 penurunan produksi urin
 sakit kepala
 halusinasi ( melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada)
 bingung
 tingkah laku agresif
 sulit bicara
 mati rasa, seperti terbakar, atau sensasi gatal pada lengan atau kaki
 ketidakmampuan sementara untuk menggerakakan bagian badan
 tremor yang tidak dapat dikontrol
 kejang
 kehilangan kesadaran. 4
 Efek samping jika dilihat dari cara pemberian :
Parenteral :
1. Toksisitas pada ginjal; pengendapan kristal Asiklovir dat terjadi pada tubulus ginjal jika mlebihi daya larut asiklovir bebas (2,5 mg/ml dalam 37OC air) atau jika pemberian injesi secara bolus. Kreatinin serum dan BUN akan meningkat sedangkan bersihan kreatinin menurun.
2. Gejala ensefalopati : rata-rata 1% pasien yang menerima Asiklovir intravena bermanifestasi seperti gejala ensefalopati yaitu letargi, obtundation, tremor, bingung, halusinasi, agitasi, kejang atau koma.
3. Lainnya : peningkatan sementara kreatinin serum, ruam atau bintik-bintik merah yang bengkak dan gatal, diaphoresis, hematuria, hipotensi, sakit kepala dan mual, trombositosis.
Oral : (efek gastrointestinal berkurang jika diminum bersamaan dengan makanan)
 Terapi jangka pendek : mual/muntah, diare, sakit kepala, pusing, lelah, ruam kulit, udem, adenopati inguinal, anoreksia, nyeri tungkai, berkurangnya sensasi perasa, nyeri tenggorokan.
 Terapi jangka panjang : mual, muntah, diare, sakit kepala, vertigo, insomnia, iritabilitas, depresi, ruam kulit, jerawat, rambut rontok, nyeri sendi, demam, palpitasi, nyeri tenggorokan, kram otot, mentruasi yang abnormal, limfadenopati. 5
VIII. DOSIS

Dosis asiklovir dapat berbeda satu pasien dengan pasien yang lain.
Oral :
Pengobatan herpes simpleks :
 Dewasa : 200 mg (400 mg pada immunocompromised atau bila ada gangguan absorbsi) 5 kali sehari, selama 5 hari.
 Anak dibawah 2 tahun : setengah dosis dewasa.
 Anak diatas 2 tahun : berikan dosis dewasa.
Pencegahan herpes simpleks kambuhan :
 200 mg 4 kali sehari atau 400 mg 2 kali sehari, dapat diturunkan menjadi 200 mg 2 atau 3 kali sehari dan interupsi setiap 6-12 bulan.
Profilaksis herpes simpleks pada immunocompromised :
 Dewasa :200-400 mg 4 kali sehari
 Anak dibawah 2 tahun : setengah dosis dewasa
 Anak diatas 2 tahun : dosis dewasa
Pengobatan varisela dan herpes zoster :
 Dewasa : 800 mg 5 kali sehari selama 7 hari.
 Anak  varisela : 20 mg/kg (maks.800 mg) 4 kali sehari selama 5 hari dibawah 2 tahun : 200 mg 4 kali sehari
2-5 tahun : 400 mg 4 kali sehari
diatas 6 tahun : 800 mg 4 kali sehari

Topikal :
Herpes simpleks : tiap 4 jam (5 kali sehari). Krim tidak boleh dioleskan pada mukosa 6

Dosis Asiklovir injeksi :
Untuk terapi herpes pada otak, genital, mukosa membran atau untuk terapi herpes zoster :
 Dewasa dan anak usia 12 tahun keatas : dosis berdasarkan berat badan. Dosis biasanya 5 sampai 10 mg/kgBB, injeksi lambat hingga 1 jam, dan diulangi setiap 8 jam selama 5 hingga 10 hari.
 Usia 12 tahun kebawah : dosis berdasarkan berat badan. Dosis biasa adalah 10 mg sampai 20 mg/kgBB, injeksi lambat hingga 1 jam, dan diulangi setiap 8 jam selama 7 hingga 10 hari.
Terapi penularan infeksi virus herpes pada neonatus :
 bayi hingga umur 3 bulan : dosis berdasarkan berat badan. Dosis umum 10 mg/kgBB. Injeksi lambat selama 1 jam dan diulang setiap 8 jam selama 10 hari. 1
Terapi pada pasien immunocompromised :
 Dewasa :
Herpes simpleks : 5 mg/kg setiap 8 jam biasanya untuk 5 hari.
Varisela zoster : dosis ganda menjadi 10 mg/kg setiap 8 jam selama 5 hari
Ensefalitis simpleks : 10 mg/kg setiap 8 jam selama 10 hari.
 Anak 3 bulan -12 tahun :
Varisela zoster : 500 mg/m2 setiap 8 jam biasanya 5 hari. 6

IX. PENYAKIT-PENYAKIT KULIT YANG MENGGUNAKAN ASIKLOVIR
1. Herpes Zoster Oftalmikus merupakan salah satu penyakit virus yang melibatkan dermatom cabang oftalmika N. trigeminus. Herpes Zoster Oftalmikus, dapat berbentuk konjungtivitis, keratitis, uveitis, glaukoma sekunder, ptosis, oklusi arteri sentrdis retina, ablasio retina dan oftalmoplegia. Komplikasi pada mata dapat menimbulkan penurunan tajam penglihatan sampai kebutaan. Komplikasi yang lain dapat berupa empsi vesikula generalisata (Herpes Zoster Generalisata), anaestesia, dan neuralgia pasca Herpetika. 7
2. Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit. Gejala pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan benjolan yang membuka dan menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat menjadi dorman (tidak aktif) selama beberapa waktu, kemudian tiba tiba menjadi aktif kembali tanpa alasan jelas. Virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) adalah penyebab umum untuk luka-luka demam (cold sore) di sekeliling mulut. HSV-2 biasanya menyebabkan herpes kelamin. Namun HSV-1 dapat menye- babkan infeksi pada kelamin dan HSV- 2 dapat menginfeksikan daerah mulut melalui hubungan seks. Pengobatan baku untuk HSV adalah asikovir dalam bentuk pil dua kali sehari. Terapi ini dapat mencegah sebagian besar jangkitan kambuh. Penyakit herpes dapat menyebabkan rasa nyeri (sakit) yang amat sangat. Rasa sakit ini harus ditangani dengan baik, dengan memakai analgesik yang cukup untuk menawarkannya. 8
3. Varisela (chickenpox, cacar air) yaitu infeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelaianan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Virus ini ditularkan melalui percikan ludah penderita atau melalui benda-benda yang terkontaminasi oleh cairan dari lepuhan kulit. Penderita bisa menularkan penyakitnya mulai dari timbulnya gejala sampai lepuhan yang terakhir telah mengering. Jika seseorang pernah menderita cacar air, maka dia akan memiliki kekebalan dan tidak akan menderita cacar air lagi. Tetapi virusnya bisa tetap tertidur di dalam tubuh manusia, lalu kadang menjadi aktif kembali dan menyebabkan herpes zoster. 9 Masa inkubasi ini berlangsung 17 sampai 21 hari. Gejala klinis mulai gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malese dan nyeri kepala, kenudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel, vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses berlangsung, timbul lagi vesikel baru sehingga memberi gambaran polimorf. 10
4. Herpes zoster (Shingles atau sinanaga) adalah suatu penyakit yang membuat sangat nyeri (rasa sakit yang amat sangat). Penyakit ini juga disebabkan oleh virus herpes yang juga mengakibatkan cacar air (virus varisela zoster). Perawatan setempat untuk herpes zoster sebaiknya termasuk membersihkan lukanya dengan air garam dan menjaganya tetap kering. Gentian violet dapat dioleskan pada luka. Pengobatan baku untuk herpes zoster adalah dengan asiklovir, yang dapat diberikan dalam bentuk pil yang diminum lima kali sehari atau secara intravena (infus) untuk kasus yang lebih parah. Obat ini paling berhasil apabila dimulai dalam tiga hari pertama setelah rasa nyeri herpes zoster mulai terasa. 11


DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2006. Acyclovir (systemic).
http://www.nlm.nih.gov/medileplus/druginfo/uspi/20.2008.html
2. Ganiswarna, G.S., 2000. Farmakologi dan Terapi edisi 4. FK UI. Jakarta.
3. Daili, F.S,. 2002. Infeksi Virus Herpes. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Anonim, 2006. Acyclovir
http://medlineplus.gov
5. Anonim. 2005. Acyclovir A Commonly Used Medication for HIV and AIDS
patients.
http://www.hivdent.org/main.htm
6. Departemen Kesehatan RI. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. CV. Sagung Seto. Jakarta.
7. Suhardjo, 1999. Penggunaan Asiklovir Oral pada Herpes Zoster Oftalmikus di RSUP Dr. Sardjito. Cermin Dunia Kedokteran No.122.
8. Anonim. 2005. Herpes Simpleks. Yayasan Spiritia. Jakarta.
http://www.i-base.org.uk
9. Anonim. 2004. Cacar Air
http://www.medicastore.com
10. Djuanda, A., 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta.
11. Anonim. 2005. Herpes Zoster (Sinanaga). Yayasan Spiritia. Jakarta.
http://www.i-base.org.uk

Herpes Simpleks

Virus Herpes Simpleks adalah virus DNA yang dapat menyebabkan infeksi akut pada kulit yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan.1,2,3

Ada 2 tipe virus herpes simpleks yang sering menginfeksi yaitu HSV-Tipe I (Herpes Simplex Virus Type I) dan HSV-Tipe II (Herpes Simplex Virus Type II). HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral Herpes), sedangkan HSV-Tipe II biasanya menginfeksi daerah genital dan sekitar anus (Genital Herpes). Beberapa penulis menyatakan bahwa kedua tipe virus herpes simpleks ini dapat menyebabkan Oral Herpes atau Genital Herpes. Infeksi HSV-Tipe I pada genital dapat disebabkan oleh kontak oral-genital atau genital-genital dengan seseorang yang memiliki infeksi HSV-Tipe I. Perjangkitan HSV-Tipe I genital berulang tidak sebanyak perjangkitan HSV-Tipe II genital.1,2,4,5,6,7
Herpes simpleks genitalis merupakan penyakit masyarakat yang penting. Prevalensinya di seluruh dunia meningkat secara bermakna selama 2 dekade terakhir. Morbiditas penyakit, kekambuhan yang tinggi dan komplikasinya seperti meningitis aseptik dan transmisi neonatus menyebabkan penyakit ini mendapat perhatian yang besar dari penderita dan petugas kesehatan.
Penyebab herpes genitalis yang sering menimbulkan masalah akhir-akhir ini adalah:
1. Belum ditemukannya obat yang efektif dalam memberantas HSV.
2. Sifat dari penyakit ini sendiri yang mudah terjadi kekambuhan karena adanya fase laten dan sebagian besar infeksi yang sifatnya subklinik.
3. Diagnosis banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinik, sehingga mudah terjadi kesalahan.
4. Di negara-negara berkembang cara mendiagnosis belum memenuhi syarat, misalnya dijumpai kesulitan dalam mengisolasi HSV.

A. Definisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genitalia yang ditularkan melalui hubungan seksual, yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS)-Tipe I dan Tipe II dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren.4,8,9
Herpes genitalis adalah infeksi virus yang ditularkan melalui kontak intim dengan lapisan mukosa mulut atau vagina atau kulit genital yang dikarakteristikkan dengan erupsi berulang vesikel kecil dan nyeri pada genital, sekitar rektum, atau area yang menutupi perbatasan dengan kulit.5,6,7

B. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, berdasar Department of Health and Human Service- U. S. Centers for Disease Control and Prevention, dari hasil studi representatif nasional menunjukkan bahwa infeksi herpes genital sering terjadi di US, terdapat 45 juta penduduk di Amerika Serikat berumur 12 tahun atau lebih, atau 1 dari 5 total penduduk remaja dan dewasa telah terinfeksi HSV-Tipe II. Nationwide, antara tahun 1970 akhir dan 1990 awal angka penderita herpes simpleks genital meningkat sebanyak 30%, peningkatan terbanyak terjadi pada remaja, HSV-II lebih banyak menginfeksi penduduk pada umur 12 sampai 39 tahun, dan tidak ada perbedaan kejadian yang bermakna antara pria dan wanita.1,2,4,6
Beberapa kepustakaan menyatakan terjadinya HSV-II pada wanita lebih tinggi 5-10% dari laki-laki yang mungkin disebabkan perbedaan anatomi dimana mukosa pada genitalia wanita lebih luas daripada laki-laki, atau karena transmisi laki-laki kepada wanita lebih banyak daripada transmisi wanita kepada laki-laki, atau dapat juga disebabkan karena mereka tidak tahu jika terinfeksi karena mereka memiliki sedikit simptom atau tidak memiliki simptom. Pada beberapa wanita, mereka “atypical outbreak” dimana mereka hanya memiliki simptom gatal sedang atau ketidak nyamanan minimal.1,2,4,6
Diperkirakan bahwa 50 juta orang di Amerika Serikat terinfeksi HSV genital. Herpes genital hanya ditularkan secara langsung melalui kontak orang dengan orang. Enam puluh persen remaja dengan seksual aktif membawa virus herpes.6
Torres melaporkan bahwa HSV-II telah menginfeksi lebih dari 40% penduduk dunia. Syahputra, dkk, di Amerika, Inggris, dan Australia ditemukan kurang lebih 50% wanita dengan HSV-II positif. Di Eropa, HSV-II berkisar antara 7-16%, Afrika 30-40%, oleh karena itu dikatakan bahwa saat ini herpes genitalis sudah merupakan endemik di banyak negara. Di Indonesia sampai saat ini belum ada angka yang pasti, dari 13 rumah sakit pendidikan, disebutkan bahwa herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan gejala ulkus genital adalah kasus yang sering dijumpai.2
Sementara statistik berubah-ubah, penelitian menunjukkan bahwa 90% populasi terpajan HSV-I, dan 25% populasi berumur 25-45 tahun di Amerika Serikat terpajan infeksi HSV-II.5,7
HSV-II menyebar dengan cara kontak, HSV ini hidup di saliva, genital, dan pada kelenjar sekresi yang lain. Penyebarannya terutama meningkat dengan peningkatan aktifitas seksual seperti: seks oral, seks anal, seks vaginal, terkadang menular lewat berciuman atau kontak langsung kulit dengan kulit yang terinfeksi HSV.2,10
HSV-I bertanggung jawab hanya 5-10% kasus herpes genital, sedangkan HSV-II mayoritas bertanggung jawab menyebabkan kasus herpes genital. Diperkirakan 86 juta orang di seluruh dunia memiliki herpes genital.5,7
Pada AIDS, infeksi HSV sering dijumpai. Pemeriksaan serologi sekitar 70% positif untuk HSV-I dan 22% untuk HSV-II. Karena itu sebagian besar infeksi herpes simpleks yang terjadi merupakan infeksi rekuren. Infeksi HSV sendiri diketahui memudahkan terjadinya infeksi HIV dan reaktifasi HSV akan meningkatkan replikasi HIV.11

C. Etiologi
Penyebab utama herpes simpleks genitalis adalah virus herpes simpleks tipe II (HSV-II), meskipun ada yang menyatakan bahwa herpes simpleks tipe I (HSV-I) sebanyak kurang lebih 16,1% juga dapat menyebabkan herpes simpleks genitalis akibat hubungan kelamin secara orogenital atau penularan melalui tangan. HSV-II termasuk dalam DNA virus. HSV terdiri dari 4 struktur dasar yaitu: envelope, tegument, nucleocapsid, dan DNA-containing core. 1,2,3,9,10

Herpes genital disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dan Herpes Virus Hominis (HVH).
Secara serologik, biologik dan sifat fisikokimia HSV-I dan HSV-II sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-I sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5 tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemiologik terhadap HSV-II sulit untuk dinilai berhubungan adanya reaksi silang antara respon imun humoral HSV-I dan HSV-II.10
Dari data WHO dapat diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-II rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktifitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30%, pada kelompok wanita di atas umur 40 tahun meningkat sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita ternyata antibodi HSV-II 10 kali lebih tinggi daripada orang normal.9

D. Patogenesis
Kontak langsung antara seseorang yang tidak memiliki antigen terhadap HSV-II dengan seseorang yang terinfeksi HSV-II. Kontak dapat melalui membran mukosa atau kontak langsung kulit dengan lesi. Transmisi juga dapat terjadi dari seorang pasangan yang tidak memiliki luka yang tampak. Kontak tidak langsung dapat melalui alat-alat yang dipakai penderita karena HSV-II memiliki envelope sehingga dapat bertahan hidup sekitar 30 menit di luar sel.2,4,10
HSV-II melakukan invasi melalui lapisan kulit yang tidak intake dan replikasi dalam sel-sel saraf seperti dalam sel epidermis dan dermis. Virus berjalan dari tempat masuk menuju ke ganglion dorsalis, dimana virus akan mengalami fase laten. Virus melakukan replikasi di ganglion sensoris dan menunggu untuk rekuren. Ketika seseorang yang terinfeksi mengalami jangkitan, virus berjalan turun melalui serabut saraf ke tempat infeksi asli. Apabila tempat itu adalah kulit, kulit tersebut akan kemerahan dan terbentuk vesikel. Setelah jangkitan awal, selanjutnya jangkitan cenderung jarang, dapat terjadi tiap minggu atau tiap tahun. Rekuren ini dapat dipengaruhi oleh: trauma, radiasi ultraviolet, infeksi, temperatur yang ekstrim, stres, pengobatan, imunosupresi, atau gangguan hormon. Penyebaran virus terjadi selama infeksi primer, fase rekuren dan selama episode asimptomatis. Hampir setiap orang yang memiliki antibodi HSV-II memiliki simptom dari waktu ke waktu.2,6,8
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode I infeksi primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekuren, asimptomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus yang berasal dari luar masuk ke dalam tubuh hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi atau replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional (ganglion sakralis), dan berdiam di sana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor), virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi rekuren. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu infeksi primer. Trigger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres emosi, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), dan pada beberapa kasus sukar diketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat mengenai infeksi rekuren: 1. Faktor pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan di sana akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi. 2. Virus secara terus-menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktor pencetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekuren.9
HSV-I bertanggung jawab untuk common cold sores, dapat ditransmisikan melalui sekresi oral. Ini sering terjadi selama berciuman, atau dengan memakan atau meminum dari perkakas yang terkontaminasi.
HSV-I dapat menyebabkan herpes genitalis melalui transmisi selama seks oral-genital. Infeksi herpes awal, sering terjadi pada anak-anak, akan tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Karena virus ditransmisikan melalui sekresi dari oral atau mukosa (kulit) genital, biasanya tempat infeksi pada laki-laki termasuk batang dan kepala penis, skrotum, paha bagian dalam, anus. Labia, vagina, serviks, anus, paha bagian dalam adalah tempat yang biasa pada wanita. Mulut juga dapat menjadi tempat infeksi untuk keduanya.
Penelitian memberi kesan bahwa virus dapat ditransmisikan ketika tidak muncul simptom, sehingga jika seorang pasangan seksual tanpa luka herpes genital yang nyata masih dapat mentransmisikan penyakit. Kenyataannya penyebaran asimptomatis sebenarnya lebih menyebarkan herpes genital daripada luka yang aktif.5,7

E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik herpes simpleks genitalis dibagi dalam 3 tingkat, yaitu: 1,2,4,6,7,8,9,10,11,12
1. Infeksi primer
Masa inkubasi dari HSV-II umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Selama masa inkubasi, tidak terdapat simptom dan virus tidak dapat ditransmisikan kepada orang lain. Infeksi primer biasa terjadi antara 2 hari sampai 2 minggu setelah tereksposure virus bahkan dapat berlanjut lebih dari 2 minggu, dan memiliki gambaran klinis yang paling berat. Rasa terbakar, gatal, geli dan parestesia mungkin akan muncul sebelum muncul lesi pada kulit.
Setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi atau disebut juga general symptom, seperti malaise, demam, nyeri otot dan penurunan nafsu makan. Lesi pada kulit dapat berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan ulkus multipel yang sangat nyeri bila disentuh, yang akan terasa 7 hari sampai 2 minggu.
Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu 5 sampai 7 hari dan tidak terjadi jaringan parut. Tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut. Pecahnya vesikel diikuti pembesaran limfonodi pada lipat paha. Pada wanita dapat menghasilkan discharge vagina dan disuria. Laki-laki dapat menghasilkan discharge pada penis, juga merasakan disuria jika lesi terletak dekat dengan muara uretra. Kebanyakan orang yang terinfeksi HSV-II tidak sadar bahwa mereka terinfeksi, simptom yang terjadi selama perjangkitan pertama dapat pula tidak nyata.
Pada pria: rasa sakit, vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang mengalami ulserasi yang dangkal, dan biasa sembuh tanpa sikatrik, kelainan kulit biasanya terjadi pada penis, tapi dapat juga terdapat pada anus atau pada perineum.1,4,6,7,9,10,11

Pada wanita: vesikel atau lesi ulseratif pada serviks atau vesikel yang sakit pada genital eksterna bilateral, dapat terjadi pada vagina, perineum, pantat, dan dapat pada tungkai sejalan dengan distribusi dari saraf sakral. Pada wanita dapat ditemukan retikulopati lumbosakral, dan 25% wanita yang mendapat infeksi primer HSV-II dapat terjadi aseptik meningitis.2,10,12

Kebanyakan individu yang terinfeksi HSV-II bisa tidak memiliki luka, atau mereka memiliki tanda yang sangat ringan sehingga mereka keliru seperti gigitan serangga atau kondisi kulit yang lain.4
Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama. Kelenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan. Infeksi pada serviks dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multipel sampai terjadinya ulkus yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat 2 sampai 4 minggu. Sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi terletak di daerah uretra dan peri uretra, sehingga dapat menimbulkan retensi urin. Hal lain yang dapat menimbulkan retensi urin adalah lesi pada daerah sakral yang menimbulkan mielitis dan radikulitis.8,9
Manifestasi klinis infeksi HSV pada ODHA (orang hidup dengan HIV atau AIDS) adalah sebagian besar lesi berupa erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritema yang khas di bibir, lidah, faring, atau genital. Infeksi di daerah orofaring biasanya sangat parah dengan ulserasi hebat di seluruh mukosa mulut, orofaring, dan esofagus. Sering juga dijumpai demam, faringitis serta pembengkakan kelenjar limfe leher. Gejala klinis HSV biasanya akan hilang setelah 7-10 hari. Namun pada AIDS, gejala klinis dapat menjadi lebih lama serta penyembuhan luka juga lebih lambat. Sebagian lain gejalanya tidak khas atau mengenai organ lain seperti esofagus, rektum, paru, hepar, mata, pankreas, ginjal, adrenal, hepar dan otak. Setelah infeksi primer, ODHA tetap mempunyai kemungkinan terjadinya infeksi rekuren yang dapat terjadi secara spontan atau dicetuskan keadaan lain seperti demam, stres dan paparan ultraviolet di tempat lesi.11
Tempat predileksi pada laki-laki biasanya di preputium, glans penis, batang penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (pada homo seks), sedangkan di skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah labia mayor atau minor, klitoris, introitus vagina, serviks, sedangkan daerah perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan.9

2. Fase laten
Setelah infeksi primer, virus akan laten dalam beberapa bulan sampai bertahun-tahun, sampai ada suatu trigger factor. Pada fase laten ini virus dapat bertahan bertahun-tahun bahkan seumur hidup penderita. Pada fase ini berarti penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis, sehingga sistem imun sulit untuk mendeteksi dan merusaknya.1,2,6,7,10

3. Infeksi rekuren
Infeksi ini berarti HSV-II pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinik. Infeksi dapat reaktif setiap waktu. Mekanisme pacu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, kelelahan, hubungan seksual atau trauma pada tempat yang terinfeksi, iritasi mekanik dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosi), dan dapat pula oleh makanan atau minuman yang merangsang, menstruasi, imunosupresi (AIDS, pengobatan yang dapat berupa kemoterapi dan terapi steroid), penyakit yang umum (mulai dari penyakit yang sedang hingga kondisi yang serius, seperti operasi, serangan jantung, pneumonia dan lain-lain).2,7,10,12
Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer karena telah ada antibodi spesifik, berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari, serta penyembuhan akan berlangsung lebih cepat. Serangan berulang sangat jarang terjadi setiap tahunnya. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum vesikel, berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Rasa nyeri dapat terjadi pada daerah sekitar genital, anus, paha bagian dalam serta mulut. Infeksi rekuren ini dapat terjadi pada tempat yang sama (loco) atau tempat yang lain atau tempat sekitarnya (non loco). Infeksi rekuren pada laki-laki umumnya sedang dan berdurasi pendek dibandingkan infeksi rekuren pada wanita.1,7,9
Infeksi inisial dan rekuren selain disertai gejala klinis dapat juga tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV-II pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-I menyebabkan infeksi HSV lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-II berjalan asimptomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-I.9

F. Pemeriksaan Penunjang
Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah:2,7,9,10
1. Mikroskop cahaya: sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi (Lipschutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang membesar menyerupai balon (ballooning) dan ditemukan fusi.

Kultur virus dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV dapat berkembang dalam 2 sampai 3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya jika cairan berasal dari vesikel primer daripada vesikel rekuren. Pertumbuhan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.7
2. Mikroskop elektron: mikroskop elektron tidak sensitif untuk mendeteksi HSV, kecuali pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per mililiter.
3. Pemeriksaan antigen langsung: sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahaya elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur virus.

Serologi: dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II serologic assay, imunofluoresensi, imunoperoksidasi dapat mendeteksi antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan imunofluoresensi memerlukan tenaga yang terlatih dan mikroskop khusus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresen tidak langsung dari kerokan lesi, sensitifitasnya 78% sampai 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik disamping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga terlatih.9
4. Perkembangan tes antibodi akhir-akhir ini dapat menentukan jika seseorang memiliki HSV-I atau HSV-II. Tes ini juga dapat menjelaskan jika individu pernah terpajan strain lain pada waktu lalu (tes Ig G) atau terpajan strain salah satu di antaranya baru-baru ini (tes Ig M).7
5. Deteksi DNA HSV dengan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.7
6. Kultur virus: Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa atau Wright, dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes Tzanck dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi herpes virus. Tes ini termasuk sel-sel manusia dalam cairan vesikel dengan celupan. Jika sel-sel dari cairan berisi partikel virus, virus-virus tersebut akan terlihat. Tes ini tidak dapat menentukan strain virus yang muncul pada vesikel. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah.

G. Diagnosis
Diagnosis dari herpes simpleks genitalis biasanya dibuat berdasar gejala klinik dan pemeriksaan penunjang. Sebelum melakukan kemoterapi dengan obat-obatan antivirus yang mahal sebaiknya dikonfirmasikan dengan hasil laboratorium.2,10
Tanda-tanda dan simptom yang berhubungan dengan HSV-II dapat sangat berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan inspeksi visual jika perjangkitannya khas, dan dengan mengambil sampel dari luka kemudian mengetesnya di laboratorium. Tes darah untuk mendeteksi infeksi HSV-I atau HSV-II, meskipun hasil-hasilnya tidak selalu jelas.4
Dicurigai herpes genital ketika vesikel multipel yang nyeri terjadi pada area yang terpajan seksual. Selama perjangkitan awal, kultur vesikel adalah (+) untuk virus herpes hanya pada 80% pasien. Ini artinya pada 20% pasien dengan herpes tesnya akan tidak benar, mengesankan bahwa mereka tidak memiliki virus herpes. Dengan kata lain, hasil tes (-) dari vesikel tidak membantu sebagaimana hasil tes (+), karena tes mungkin negatif palsu. Bagaimanapun juga, jika sebuah sampel vesikel yang berisi cairan (pada stadium awal sebelum kering dan terbentuk krusta) tesnya (+) herpes, hasil tesnya sangat dapat dipercaya.
Pada perjangkitan rekuren herpes genital, kultur cairan vesikel selama deteksi rekuren virus herpes hanya 50% dari kultur.6
Diagnosa ensefalitis HSV berdasarkan gambaran klinis, CT-Scan atau MRI, dan PCR HSV di cairan cerebrospinal.11

H. Diagnosis Banding
Differential diagnosis dapat bermacam-macam, bergantung dari derajat dari lesi. Diagnosis banding dari HSV-II antara lain:1,2,3,12
1. Sifilis.
2. Ulkus mole.
3. Skabies.
4. Limfogranuloma venerum.
5. Trauma.
6. Infeksi bakterial.
7. Dermatitis kontak.
8. Infeksi virus yang lain.

I. Penatalaksanaan
Sampai sekarang belum ditemukan obat yang memuaskan untuk terapi herpes genitalis, namun pengobatan secara umum tetap harus diperhatikan.
Obat-obatan topikal sering dipakai seperti: povidon iodine, idoksuridin (IDU), sitosin arabinosa atau sitarabin, adenine arabinosa atau vidarabin. Pelarut organik: alkohol 70%, eter, timol 40%, dan klorofom.3
Obat-obatan antivirus seperti Acyclovir diindikasikan dalam manajemen infeksi HSV primer dan pada pasien dengan imunosupresif. Pengobatan antiviral dapat memperpendek dan mencegah perjangkitan selama periode waktu seseorang mendapat pengobatan. Untuk episode I herpes genital dapat diberikan Acyclovir 200 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 hari. Untuk rekuren dapat digunakan Acyclovir 200 mg oral 5 kali sehari selama 5 hari. Untuk mencegah rekuren macam-macam usaha dilakukan dengan tujuan meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian lupidon G dalam 1 seri pengobatan. Sebagai tambahan, terapi supresif sehari-hari untuk herpes simptomatik dapat menurunkan transmisi kepada pasangan. Pengobatan antiviral dapat juga digunakan dalam dosis supresif, artinya diberikan tiap hari untuk mensupresi perjangkitan. Terapi supresi ini dapat menurunkan 80-90% perjangkitan, memotong perjangkitan simptomatis serta penyebaran virus.2,4,6
Herpes genital tidak dapat disembuhkan. Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat mempercepat waktu penyembuhan.
Tiga agen oral yang akhir-akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir (Zovirax), Famciclovir (Famvir), dan Valacyclovir (Valtrex). Ketiga obat ini mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi. Meskipun terdapat agen topikal, umumnya kurang efektif daripada pengobatan lain. Serta tidak rutin digunakan. Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan.
Pengobatan ini telah menunjukkan kecepatan dalam penyembuhan dan resolusi simptom pada serangan pertama daripada episode rekuren infeksi genital HSV-I dan HSV-II. Pengobatan ini tidak dapat menyembuhkan infeksi herpes. Pengobatan ini menekan simptom nyeri dan menurunkan waktu penyembuhan ulkus. Tapi pengobatan pada infeksi pertama tidak menurunkan frekuensi episode rekuren.
Jika perlu, terapi supresi sehari-hari dapat digunakan, dan telah menunjukkan berkurangnya frekuensi rekuren diantara pasien-pasien dengan perjangkitan yang frekuen herpes genital lebih dari 6 kali dalam 1 tahun.
Untuk keuntungan maksimal selama rekuren, terapi harus dimulai seawal mungkin saat mulai rasa geli (tingling), rasa gatal dan rasa terbakar; atau seawal mungkin setelah timbulnya vesikel. Efek samping dari pengobatan ini adalah mual, muntah, rash, sakit kepala, kelelahan, tremor, dan sangat jarang yaitu kejang.
Episode herpes rekuren cenderung menjadi sedang, dan pengobatan antiviral akan maksimal jika terapi diberikan seawal mungkin, terutama dalam 24 jam setelah perjangkitan. Pengobatan antiviral harus disediakan untuk pasien lanjut.
Acyclovir intravena kadang dibutuhkan untuk infeksi herpes yang berat, yaitu yang dapat melibatkan otak, mata, paru-paru. Komplikasi ini terdapat pada individu yang imunokompromis.
Foscarnet (Foscavir), adalah agen antivirus yang kuat, yang merupakan pilihan pertama pengobatan strain herpes yang resisten Acyclovir dan obat-obat yang sama. Foscavir intravena dapat menyebabkan efek toksik yang berat, seperti pemburukan fungsi ginjal yang reversibel atau kejang. Karena efek samping yang serius ini, Foscarnet digunakan hanya untuk infeksi herpes yang berat dan resisten. Sebagaimana pengobatan anti virus yang lain, Foscarnet tidak dapat mengobati herpes.
Mandi air hangat dapat menghilangkan nyeri lesi genital. Membersihkan vesikel atau ulkus dengan halus menggunakan sabun dan air dianjurkan. Jika terjadi infeksi sekunder pada lesi kulit karena bakteri, antibiotik topikal atau oral dapat digunakan.
Bergabung dengan kelompok penyokong, dimana anggota-anggotanya saling bertukar pikiran tentang pengalaman dan masalah dapat membantu mengurangi stres yang berhubungan dengan penyakit ini.6,7
Acyclovir intravena diberikan secara perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh karena itu sebaiknya diberikan di rumah sakit. Dosis setiap kali pemberian adalah 5 mg/ kg BB, dengan interval 8 jam. Dosis ini diberikan untuk herpes genital episode I, yang memerlukan waktu selama 5 sampai 10 hari, ternyata tidak dapat mengurangi rekurensi, akan tetapi dapat mengurangi viral shedding.
Acyclovir peroral diberikan dengan dosis 200 mg 5 kali sehari selama 5 sampai 10 hari, dapat mengurangi viral shedding secara dramatis. Kinghorn dkk (1986) telah membuktikan bahwa Acyclovir 200 mg 5 kali sehari peroral ditambah Kotrimoksazol (160 mg Trimetoprim dan 800 mg Sulfametoksazol) 2 kali sehari selama 7 hari memperpendek waktu penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan dengan Acyclovir saja.
Penanganan infeksi rekurens menurut Moreland dkk (1990) dapat ditempuh dengan 4 cara:
1. Tidak diberi terapi spesifik (terutama pada infeksi yang ringan).
2. Acyclovir peroral secara episodik dengan dosis 5 x 200 mg/ hari selama 5 hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan riwayat lesi multipel atau serangan yang lama (7 hari).
3. Supresi kronis Acyclovir, dapat dipertimbangkan bila mengalami:
a. Rekurensi lebih dari 8 kali pertahun.
b. Rekurensi lebih dari 1 kali dalam sebulan.
c. Rekurensi menimbulkan beban psikologis yang berat.
d. Bila terapi dirasakan lebih bermanfaat dibandingkan biaya untuk penderita tersebut.
Acyclovir minimal 2 x 200 mg/ hari, dapat ditinggikan sampai 3-4 x 200 mg sehari tergantung keadaan. Cara ini efektif dan aman untuk jangka waktu minimal 1 tahun, dengan penilaian ulang setiap 6 bulan.
4. Supresi episodik dengan Acyclovir, diberikan pada individu dengan rekurensi terutama bila ada stres.
Acyclovir 5% cream bekerja langsung pada sel yang terinfeksi serta memperpendek viral shedding, mengurangi rasa nyeri dan gatal. Pemakaian hanya untuk mengurangi keparahan dan lamanya episode rekurens.
Valacyclovir merupakan derivat ester L-valil dari Acyclovir. Bioavailabilitasnya 3 sampai 5 kali lebih tinggi daripada yang dapat dicapai oleh Acyclovir oral. Pada uji klinik yang membandingkan Valacyclovir 2 x 500-1000 mg per hari, dengan Acyclovir 5 x 200 mg/ hari, dan plasebo dalam waktu 24 jam setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis I episode herpes genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi Valacyclovir secara bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan lesi, serta dengan cepat memperpendek masa viral shedding. Efek samping adalah nyeri kepala dan mual.
Famcyclovir merupakan obat antivirus baru yang merupakan derivat diasetil-6-deoksi pensiklovir. Pensiclovir merupakan golongan antivirus dengan komponen guanin. Cara kerja Famcyclovir sama dengan Acyclovir, yaitu menghambat sintesis DNA. Pada herpes genitalis episode I, Famcyclovir 3 x 500 mg/ hari selama 5 hari, ternyata mempersingkat viral shedding dan waktu penyembuhan, dibanding plasebo. Acyclovir 5 x 200 mg/ hari selama 5 hari dibanding Famcyclovir 3 x 750 mg/ hari selama 5 hari, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan lamanya viral shedding, waktu menghilangnya vesikel dan ulkus, serta terjadinya krustasi dan hilangnya rasa sakit.
Pada pengobatan herpes genital rekurens, Famcyclovir 3 x 500 mg selama 5 hari dibandingkan Acyclovir 5 x 200 mg/ hari selama 5 hari, tidak berbeda dalam hal mempersingkat viral shedding. Dari hasil tersebut di atas, pengobatan dengan Famcyclovir ternyata sama efektifitasnya dengan Acyclovir pada kasus herpes genitalis, namun frekuensi pemberiannya lebih jarang.
Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dengan viral shedding dalam 6 minggu terakhir masa kehamilan dianjurkan untuk sectio caesaria sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya ketuban. Disarankan melakukan pemeriksaan virologik dan sitologik sejak kehamilan 32 dan 36 minggu, setelah itu sekurang-kurangnya setiap minggu dilakukan kultur sekret serviks dan genital eksterna. Bila kultur virus yang diinkubasi minimal 4 hari, memberikan hasil (-) 2 kali berturut-turut, serta tidak ada lesi genital saat melahirkan, maka dapat partus per vaginam. Pada pertemuan Internatinal Herpes Management Forum di San Francisco AS November 1994, disetujui penatalaksanaan herpes genitalis pada kehamilan (episode awal, dengan gejala berat): Acyclovir oral 5 x 200 mg/ hari selama 7 sampai 10 hari. Dosis supresif rutin tidak dianjurkan untuk episode rekurens selama kehamilan atau dekat akhir kehamilan.
Bila ibu mengidap herpes genital primer pada saat persalinan per vaginam, harus diberikan profilaksi Acyclovir intravena kepada bayi selama 5 sampai 7 hari dengan dosis 3 x 10 mg/ kg BB/ hari. Penelitian pengobatan Acyclovir 10 mg/ kg BB tiap 8 jam selama 10 sampai 21 hari, atau Ara-A 30 mg/ kg BB/ hari menurunkan angka kematian dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat pengobatan. Cara pengobatan ini dapat mencegah progresifitas penyakit (infeksi pada susunan saraf pusat atau infeksi diseminata).
Pada penderita immunocompromised diberikan Acyclovir oral 5 x 200-400 mg/ hari selama 5 sampai 10 hari. Pada yang beresiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat menerima pengobatan oral, diberikan Acyclovir intravena 3 x 5 mg/ kg BB/ hari selama 7 sampai 14 hari. Bila terbukti terjadi infeksi sistemik, diberikan Acyclovir intravena 3 x 10 mg/ kg BB/ hari selama minimal 10 hari. Pengobatan supresif untuk mencegah rekurensi, diberikan Acyclovir minimal 2 x 400 mg/ hari hingga keadaan imunokompromisnya hilang (jika mungkin). Untuk penderita infeksi HIV simptomatik atau AIDS, diberikan Acyclovir oral 4-5 x 400 mg/ hari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat diberikan terapi supresif.9

J. Pencegahan
Selama ini metode yang paling efektif dalam mencegah infeksi adalah menghindari kontak atau menggunakan barier yang impermeable. Penggunaan kondom lateks yang benar dan konsisten dapat mengurangi resiko herpes genital hanya jika area yang terinfeksi atau tempat yang potensial terpajan dapat terlindungi. Kondom wanita telah diuji dan memperlihatkan kesuksesan dalam mengurangi transmisi virus. Kondom dari bahan lateks adalah barier yang lebih efektif. Krim spermatisida dapat menghancurkan virus tapi tidak 100% efektif, sabun dan air mungkin dapat menghancurkan virus dalam beberapa menit pertama setelah kontak. Cara ini dapat digunakan pada permukaan kulit tapi tidak dapat digunakan pada vagina dan serviks. Phenol, alcohol, iodine, dan klorofom, dapat menghancurkan virus di ekstraseluler tapi tidak praktis digunakan rutin pada kulit atau mukosa.
Seseorang dengan herpes harus berpantang dari aktifitas seksual dengan pasangan yang tidak terinfeksi ketika lesi atau simptom herpes muncul. Hal ini penting untuk diketahui bahwa ketika seseorang tidak memiliki simptom, dia masih dapat menginfeksi pasangan seks. Pasangan-pasangan seks harus dinasehati bahwa mereka dapat terinfeksi. Pasangan seks dapat mencoba tes untuk menentukan jika mereka terinfeksi HSV. Tes darah HSV-II (+) sangat mungkin mengindikasikan infeksi herpes genital.4,6,7,8
Herpes dapat menyebar dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain selama perjangkitan. Pasien disarankan untuk tidak menyentuh mata atau mulut setelah menyentuh vesikel atau ulkus. Selama perjangkitan, pasien supaya selalu mencuci tangan dengan cermat. Baju yang kontak dengan ulkus supaya tidak dicampur dengan baju yang lain. Pasangan harus mempertimbangkan semua kontak seksual, termasuk berciuman.6
Wanita hamil dengan infeksi herpes simpleks harus melaksanakan kultur virus tiap minggu dari serviks dan genitalia eksterna sebagai jalan lahir. Persalinan secara sectio caesaria direkomendasikan untuk mencegah infeksi bayi baru lahir.6,7

K. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada orang yang terinfeksi HSV-II adalah:1,2,4,7,9
1. Infeksi sekunder oleh bakteri.
2. Kekambuhan penyakit (sering terjadi).
3. Komplikasi pada daerah genital seperti: genital neuralgia (terjadi pada beberapa remaja), striktur uretra, fusi dari labium, limpatik supuratif.
4. Transverse myelopathy (mengganggu penyampaian melalui korda spinalis).
5. Inkontinensia.
6. Tekanan psikologis yang berupa ketakutan dan depresi, terutama bila terjadi salah penanganan pada penderita.
7. Pada wanita dengan infeksi HSV-II primer dapat terjadi aseptik meningitis, encefalitis (jarang).
8. Pada wanita hamil, virus dapat melalui plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin sehingga dapat mengakibatkan kerusakan atau kematian pada janin. Hal ini penting supaya wanita menghindari menderita herpes genital selama kehamilan. Infeksi ini mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita cacat neurologik, atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa encephalitis, meningitis herpetic, viremia herpetic, erupsi kulit kronis (berupa vesikel herpetiformis), keratokonjungtivitis, koroidoretinitis, microcephali, atau hepatitis. Beberapa ahli menganjurkan melakukan sectio caesarea pada ibu yang terinfeksi HSV-II aktif. Angka kejadian infeksi pada bayi dari wanita yang mengidap infeksi herpes jarang, di AS frekuensi herpes neonatal adalah 1 per 7500 kelahiran hidup. Sedangkan apabila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intra partum atau paska partum.1,2,4,5,7,8,9
9. Pada orang tua: hepatitis, meningitis, ensefalitis, hipersensitifitas terhadap virus, sehingga timbul reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme.
10. Penyebaran virus ke organ-organ lain pada individu imunokompromis. Infeksi herpes dapat menjadi berat pada orang-orang dengan supresi sistem imun.4,5,7,8
11. Herpes memainkan peran pada penyebaran HIV, virus yang dapat menyebabkan AIDS. Herpes dapat membuat orang lebih rentan terinfeksi HIV, dan dapat membuat individu yang terinfeksi HIV lebih infeksius.7,8
Berbagai komplikasi berhubungan dengan infeksi herpes. Virus herpes penting untuk wanita. Virus ini memiliki keterlibatan dengan kanker serviks. Virus dapat menyebar dari vagina ke serviks pada wanita yang tidak merasakan simptom. Resiko meningkat ketika HSV muncul pada kombinasi dengan Human Papilloma Virus (HPV), virus ini bertanggung jawab untuk Condyloma.5,6,7
Infeksi herpes juga merupakan masalah serius untuk individu imunokompromis (pasien AIDS, menjalani kemoterapi atau terapi radiasi, atau mendapatkan dosis tinggi kortison). Orang-orang ini dapat menderita infeksi bermacam-macam organ, meliputi:4,5,7
1. Keratitis herpetik, infeksi herpes pada mata mengakibatkan parut pada kornea, dan akhirnya kebutaan.
2. Infeksi persisten pada membran mukosa dan kulit dari hidung, mulut dan tenggorok.
3. Esofagitis herpetik, infeksi pada liver menyebabkan inflamasi pada liver dan akhirnya gagal liver.
4. Ensefalitis, infeksi yang sangat serius pada otak. Jika tidak diobati, kira-kira 60-80% orang-orang yang mengidap infeksi ini akan berkembang menjadi koma dan meninggal dalam beberapa hari. Sedangkan orang sembuh sering mengalami pemburukan, kategori pemburukan neurologi sedang hingga paralisis.
5. Pneumonitis, infeksi pada paru-paru menyebabkan pneumonia.

L. Prognosis
Selama pencegahan rekuren masih merupakan problem, hal tersebut secara psikogenik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekuren lebih jarang.1
Meskipun kematian yang disebabkan oleh infeksi HSV-II jarang terjadi, akan tetapi selama belum ada pengobatan yang efektif, perkembangan penyakit sulit diramalkan. Infeksi primer dini yang segera diobati mempunyai prognosis yang lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi frekuensi kekambuhannya.9
Pada orang dengan gangguan imunitas, seperti pada penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan infeksi dapat menyebar ke alat-alat dalam dan fatal akibatnya. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko Roni, P., “Herpes Simpleks”, dalam Djuanda Adhi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi Ketiga, Hal 359-361, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002

2. Torres Gisela, “Herpes Simplex”, dalam http://www.emedicine.com/DERM/topic179.htm, August 9, 2005

3. Siregar, R., S., “ Herpes Genitalis”, dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2, Hal 82-84, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004

4. Anonim, “Genital Herpes”, dalam http://www.cdc.gov/std/Herpes/STDFact-Herpes.htm., Centers for Disease Control and Prevention, 1600 Clifton Rd, Atlanta, GA 30333, USA, May, 2004

5. Anonim, “Genital Herpes Simplex”, dalam http://www.healthcentre.com/ency/408/000857.html

6. Anonim, “Genital Herpes In Women”, dalam http://www.medicinenet.com/genital herpes in women/page2.htm

7. Gandhi Monica, “Genital Herpes”, dalam http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000857.htm., Division of Infectious Disease, UCSF, San Francisco, CA., October 4, 2006

8. Tennen Melisa, “Genital Herpes”, dalam http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/dc/caz/repr/stds/alert09262003.jsp

9. Daili Sjaiful Fahmi, Judanarso Jubianto, “Herpes Genital”, dalam Daili, S., F., Makes, W., I., Zubier, F., Judanarso, J., Infeksi Menular Seksual, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi Ketiga, Hal 111-125, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2005

10. Stannard Linda, “Herpes Simplex Viruses”, dalam http://virology-online.com/index.html. 2005

11. Yunihastuti, E., Djausi, S., Djoerban, Z., “Virus Herpes Simpleks”, dalam Infeksi Oportunistik pada AIDS, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Hal 44-46, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2005

12. Anonim, “Herpes”, dalam http://www.herpes-coldsores.com/std/herpes.htm. 2005