Faal penglihatan yang optimal dicapai seseorang apabila benda yang dilihat oleh kedua mata dapat diterima setajam-tajamnya oleh kedua fovea, kemudian secara simultan dikirim ke susunan saraf pusat untuk diolah menjadi suatu sensasi berupa bayangan tunggal. Faal penglihatan optimal seperti tersebut di atas, yang terjadi pada semua arah penglihatan disebut sebagai penglihatan binokular yang normal. ( 1, 2 )
Faal penglihatan yang normal dapat membedakan bentuk, warna dan intensitas cahaya. Visus yang normal dapat terjadi apabila disertai fiksasi dan proyeksi yang normal pula.
Seorang bayi yang baru lahir, hanya dapat membedakan gelap dan terang, belum ada daya fiksasi. Perkembangan fovea sentralis terbaik terdapat pada umur 3-6 bulan setelah lahir. Bila setelah berumur 6 bulan bayi masih terdapat kelainan deviasi, harus segera diberi tindakan dengan maksud untuk mendapat pembentukan visus yang baik dan juga mempertinggi kemungkinan hasil fungsional untuk melihat binokular yang baik. ( 2 )
Agar terjadi penglihatan binokular yang normal, diperlukan persyaratan utama, berupa :
1. Bayangan yang jatuh pada kedua fovea sebanding dalam ketajaman maupun ukurannya, hal ini berarti bahwa tajam penglihatan pada kedua mata tidak terlalu berbeda sesudah koreksi dan tidak terdapat aniseikonia, yang baik disebabkan karena refraksi maupun perbedaan susunan reseptor.
2. Posisi kedua mata dalam setiap arah penglihatan adalah sedemikian rupa sehingga bayangan benda yang menjadi perhatiannya akan selalu jatuh tepat pada kedua fovea. Posisi kedua mata ini adalah resultante kerjasama seluruh otot-otot ekstrinsik pergerakan bola mata.
3. Susunan saraf pusat mampu menerima rangsangan yang datang dari kedua retina dan mensintesa menjadi suatu sensasi berupa bayangan tunggal. ( 3 )
Apabila salah satu dari ketiga persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akan timbul keadaan penglihatan binokular yang tidak normal.
Aniseikonia yaitu suatu disparasi penglihatan berat yang menimbulkan diplopia dan perbedaan hipermetropia sebanyak dua dioptri atau lebih dapat menyebabkan gangguan faal penglihatan dalam masa perkembangan anak yang disebut sebagai Developmental Arrest.
Gangguan keseimbangan gerak bola mata akibat tonus yang tidak sama kuat antara otot-otot penggerak bola mata maupun karena kelainan yang bersifat sentral juga dapat mengakibatkan deviasi bola mata. ( 3, 4, 5 )
I. DEFINISI
STRABISMUS adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak searah. Strabismus merupakan suatu kelainan posisi bola mata dan bisa terjadi pada arah atau jauh penglihatan tertentu saja, atau terjadi pada semua arah dan jarak penglihatan. ( 4, 5, 6 )
II. Etiologi
Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau sentral. Cacat sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis, palpebra, Parut Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak.
Cacat Sensorik dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik. ( 4, 5 )
Gangguan fungsi mata seperti pada kasus kesalahan refraksi berat atau pandangan yang lemah karena penyakit bisa berakhir pada strabismus. Ambliopia (berkurangnya ketajaman penglihatan) dapat terjadi pada strabismus, biasanya terjadi pada penekanan kortikal dari bayangan mata yang menyimpang. ( 5 )
III. DIAGNOSA STRABISMUS
Kelainan kedudukan mata dapat dibagi dalam :
- strabismus - paralitik (noncomitant) = incomitant
- nonparalitik = (comitant = concomitant)
- manifes = strabismus = heterotropia
- laten = heteroforia
- akomodatif
- non akomodatif
Seringkali heteroforia bertambah secara progresif, sehingga kelainan deviasi ini tidak dapat lagi diatasi, sehingga menjadi = strabismus.
1. STRABISMUS PARALITIKA (NONCOMITANT, INCOMITANT)
Tanda-tanda :
1. Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal ini menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese. Ini dapat dilihat, bila penderita diminta supaya matanya mengikuti suatu obyek yang digerakkan ke 6 arah kardinal, tanpa menggerakkan kepalanya (excurtion test). Keterbatasan gerak kadang-kadang hanya ringan saja, sehingga diagnosa berdasarkan pada adanya diplopia saja. ( 4 )
2. Deviasi
Kalau mata digerakkan kearah lapangan dimana otot yang lumpuh bekerja, mata yang sehat akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata yang sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas, bila kedua mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh, deviasinya tak tampak.
Contoh : kelumpuhan m.rektus lateralis, menyebabkan esotropia, mata berdeviasi kenasal. Deviasi ini tampak jelas bila kedua mata digerakkan kearah temporal dan menjadi tidak nyata, bila digerakkan kearah nasal. Deviasi dari mata yang strabismus disebut deviasi primer, selalu kearah berlawanan dengan arah bekerjanya otot yang lumpuh. Kalau mata yang sakit melihat sesuatu obyek dan mata yang sehat ditutup maka mata yang sehat ini akan berdeviasi pada arah yang sesuai dengan mata yang sakit, tetapi dengan kekuatan yang lebih besar. Deviasi dari mata yang sehat disebut deviasi sekunder. Deviasi sekunder ini lebih besar, karena rangsangan yang kuat dibutuhkan mata yang sakit untuk melihat kearah tempat otot yang sakit bekerja. Kekuatan rangsangan yang sama didapatkan pula oleh otot yang normal sebagai pasangannya, karena itu timbul deviasi sekunder yang kuat, pada mata yang sehat (hukum Hering). ( 4, 5 )
Ini merupakan cara untuk membedakan strabismus paralitik dari yang nonparalitika, dimana diviasi primer sama dengan diviasi sekunder.
Mata melihat lurus kedepan, esotropia mata kanan nyata. Mata melihat kekiri tak tampak esotropia. Mata melihat kekanan esotropia nyata sekali.
Parese m.rektus lateral mata kanan
Mata kiri fiksasi (mata sehat)
mata kanan ditutup (mata sakit)
deviasi mata kanan=deviasi mata primer Mata kiri yang sehat ditutup, mata kanan yang sakit fiksasi, deviasi mata kiri = deviasi sekunder, yang lebih besar dari pada deviasi primer.
3. Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih nyata bila mata digerakkan kearah ini.
4. Ocular torticollis (head tilting)
Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh. Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa berkurang.
5. Proyeksi yang salah
Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi yang benar. Bila mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu obyek yang ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah disamping obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot yang lumpuh, untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini menyebabkan tanggapan yang salah pada penderita. ( 3, 4 )
6. Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.
Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.
Diagnosa berdasarkan : 1. Keterbatasan gerak
2. Deviasi
3. Diplopia.
Ketiga tanda ini menjadi nyata, bila mata digerakkan kearah lapangan kerja dari otot yang sakit. Pada keadaan parese, dimana keterbatasan gerak mata tak begitu nyata adanya diplopi merupakan tanda yang penting. Cara pemeriksaannya dengan tes diplopi. Dengan cara ini dapat diketahui :
1. Pada arah mana didapat diplopia
2. Apakah diplopianya bertambah kesatu arah
3. Mata mana yang menderita.
Dengan demikian dapat diketahui mata mana dan otot mana pada mata itu yang salah.
Caranya : Penderita disuruh mengikuti gerak korek api, dengan matanya, tanpa menggerakkan kepalanya, yang digerakkan keatas, kebawah, kekanan dan kekiri, secara maksimal. Diperhatikan apakah timbul diplopia pada salah satu arah.
Umpamanya pada waktu melihat kekanan tampak diplopia. Dalam hal ini ada 2 kemungkinan :
1. Mata kiri yang tertinggal karena eksotropi mata kiri = kelumpuhan m.rektus internus
2. Mata kanan tertinggal, karena esotropia mata kanan = kelumpuhan m.rektus eksternus.
Kemungkinan
OS OD
Kiri kanan
OS OD
1. Pada eksotropia mata kiri (OS) = paralise m.rektus internus pada mata kiri
Rangsangan pada mata kanan difovea sentralis.
Pada OS, retina yang terangsang disebelah kiri fovea sentralis, jadi bayangan OS ada disebelah kanan dari bayangan OD yang melalui fovea sentralis, dilapangan penglihatan.
OD OS
Disini terdapat crossed diplopia, karena bayangan palsunya terletak berlawanan dengan mata yang berdeviasi.
2. Pada esotropia OD = paralise m.rektus eksternus mata kanan
Rangsangan pada OS tepat difovea sentralis. Pada OD, fovea sentralis ketinggalan dalam gerakan dan terangsang retinanya pada daerah sebelah kiri dari fovea sentralis. Jadi bayangannya dilapangan penglihatan terletak disebelah kanan bayangan OS yang melalui fovea sentralis.
Disini diplopianya OS OD, disebut juga homonymous diplopia, karena bayangan palsunya terletak pada sisi yang sama dengan mata yang berdeviasi.
Dengan menutup salah satu mata, setelah terlihat diplopia, dapatlah diketahui kedudukan bayangan dari diplopia itu, karena bayangan yang hilang menunjukkan kedudukan bayangan mata itu. Umpamanya bayangan yang sebelah kiri yang hilang, bila mata kanan yang ditutup, maka bayangan yang sebelah kiri adalah bayangan dari mata kanan. ( 4 )
Pengukuran derajat deviasinya dengan tes Hirschberg, tes Krimski, tes Maddox cross.
Penderita strabismus paralitika sebaiknya dirujuk dahulu dengan seorang ahli saraf, sebelum diberikan pengobatan pada matanya, untuk menentukan da mengobati penyebabnya, yang seringkali merupakan keadaan yang gawat seperti tumor diotak. Kalau dari fihak bagian saraf sudah dianggap tengan barulah matanya diberi pengobatan.
Kelumpuhan otot dapat mengenai satu otot, biasanya m.rektus lateralis, m.obliqus superior atau salah satu otot yang diurus oleh N.III. Dapat juga mengenai beberapa otot yang diurus oleh N.III.
ESOTROPIA PARALITIKUS = ABDUSEN PALCY = NONCOMITANT ESOTROPIA
Sering terdapat pada orang dewasa yang mendapat trauma dikepala, tumor atau peradangan dari susunan saraf serebral. Jarang ditemukan pada anak-anak, yang biasanya disebabkan trauma pada waktu lahir, kelainan kongenital dari m.rektus lateralis atau persarafannya.
Tanda-tandanya :
- gangguan pergerakan mata kearah luar
- diplopi homonim, yang menjadi lebih hebat, bila mata digerakkan kearah luar
- kepala dimiringkan kearah otot yang lumpuh
- deviasinya menghilang, bila mata digerakkan kearah yang berlawanan dengan otot yang lumpuh
- pada anak dibawah 6 tahun, dimana pola sensorisnya belum tetap, timbul supresi, sehingga tidak timbul diplopia
- pada orang dewasa, dimana esotropianya terjadi sekonyong-konyong, penderita mengeluh ada diplopia, karena pola sensorisnya sudah tetap dan bayangan dari obyek yang dilihatnya jatuh pada daerah-daerah retina dikedua mata yang tidak bersesuaian (corresponderend). ( 4, 5 )
Pengobatan :
Penderita diobati dahulu secara nonoperatif selama 6 bulan, menurut kausanya, kalau dapat dengan kerjasama beserta seorang ahli saraf. Bila terdapat diplopia, mata yang sakit ditutup untuk menghilangkan diplopia dan segala akibatnya. Adapula yang menutup mata yang sehat untuk menghilangkan diplopianya.
Baik pada anak ataupun dewasa, bila setelah 6 bulan pengobatan belum ada perbaikan, baru dilakukan operasi, yaitu reseksi dari m.rektus lateralis atau reseksi dari m.rektus medialis, sebab bila dibiarkan terlalu lama dapat terjadi atrofi dari otot.
KELUMPUHAN DARI N.III (N. OKULOMOTORIUS)
Pada kelumpuhan total dari saraf ini didapatkan :
- ptosis.
- bola mata hampir tak dapat bergerak. Keterbatasan bergerak kearah atas, kenasal dan sedikit kearah bawah.
- mata berdeviasi ketemporal, sedikit kebawah. Kepala berputar kearah bahu pada sisi otot yang lumpuh.
- sedikit eksoftalmus, akibat paralise dari 3 mm rekti yang dalam keadaan normal mendorong mata kebelakang.
- pupil midriasis, reaksi cahaya negatif, akomodasi lumpuh.
- ada crossed diplopia.
Hal tersebut terjadi oleh karena N.III mengurusi :
M.rektus superior, m.rektus medialis, m.rektus lateralis, m.obliqus inferior, m. sfingter pupil, mm.siliaris. bila ini semua lumpuh tinggal m.rektus lateralis, m.obliqus superior yang bekerja, karena itu mata berdeviasi kearah temporal sedikit kearah bawah dan intorsi (berputar kearah nasal). Pupil lebar tak ada akomodasi.
Kelumpuhan N.III sering tak sempurna hanya mengenai 2-3 otot saja. Dapat disertai dengan kelumpuhan dari otot-otot lain. Bila terdapat kelumpuhan dari semua otot-otot, termasuk otot iris dan badan siliar, disebut oftalmoplegia totalis. Kalau hanya terdapat kelumpuhan dari otot-otot mata luar, disebut oftalmoplegia eksterna, yang ini lebih sering terjadi. Kelumpuhan yang terbatas pada m.sfingter pupil dan badan siliar, disebut oftalmoplegia interna. Hal ini sering dijumpai misalnya pada :
- pemakaian midriatika, sikloplegia, waktu mengadakan pemeriksaan fundus atau refraksi
- kontusio bulbi
- akibat lues, difteri, diabetes, penyakit serebral.
Dalam hal ini kita dapatkan pupil lebar, tak ada akomodasi. Pada oftalmoplegia interna, diobati menurut penyebabnya dan lokal diberikan pilokarpin atau eserin. Kalau akomodasinya tetap hilang, beri pula kacamata sferis (+) 3 D untuk pekerjaan dekat.
Penyebabnya :
Kelainannya dapat terjadi pada setiap tempat dari korteks serebri keotot. Macam kelainan dapat eksudat, perdarahan, periostitis, tumor, trauma, perubahan pembuluh darah yang menyebabkan penekanan atau peradangan pada saraf. Jarang-jarang disebabkan peradangan atau degenerasi primer. Pada umumnya disebabkan oleh lues yang dapat menyebabkan tabes, ensefalitis. Infeksi akut (difteri, influenza), keracunan (alkohol), diabetes mellitus, penyakit-penyakit sinus, trauma, sebagai penyebab yang lainnya. Terjadinya bisa sekonyong-konyong ataupun perlahan-lahan, tetapi perjalanan penyakitnya selalu menahun. Kekambuhan sering terjadi. Kalau telah terjadi lama, prognosis tidak menguntungkan lagi, karena kemungkinan terjadinya atrofi dari otot-otot yang lumpuh dan kontraksi dari otot lawannya. ( 4 )
Pengobatan :
Untuk menghindari diplopia, mata yang sakit ditutup. Ada pula yang menutup mata yang sehat.
Kalau setelah pengobatan kira-kira 6 bulan tetap lumpuh, dilakukan operasi reseksi dari otot yang lumpuh disertai resesi dari otot lawannya. Supaya tidak terjadi atrofi dari otot yang lumpuh. Hasil dari operasi ini sering mengecewakan, tetapi perbaikan kosmetis mungkin dapat memuaskan.
Kelumpuhan m.rektus medialis :
Menyebabkan strabismus divergens, gangguan gerak kearah nasal, cross diplopi. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah nasal (aduksi). Kepala dimiringkan kearah otot yang sakit.
Kelumpuhan m.rektus superior :
Terdapat keterbatasan gerak keatas, hipotropia, diplopia campuran (diplopi vertikal dan crossed diplopia). Bayangan dari mata yang sakit terdapat diatas bayangan mata yang sehat. Kelainan bertambah pada gerakan mata keatas.
Kelumpuhan m.rektus inferior :
Terdapat keterbatasan gerak mata kebawah, hipertropia, diplopi campuran, crossed, yang bertambah hebat bila mata digerakkan kebawah. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih rendah.
Kelumpuhan m.obliqus superior :
Terdapat keterbatasan gerak kearah bawah terutama nasal inferior, strabismus yang vertikal, diplopia campuran, terutama vertikal dan homonim yang bertambah hebat bila mata digerakkan kearah nasal inferior. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih rendah. ( 4, 5 )
Kelumpuhan m.obliqus inferior :
Terdapat keterbatasan gerak keatas, terutama atas nasal, strabismus vertikal, diplopia campuran, homonim. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah temporal atas. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih tinggi.
2. STRABISMUS NONPARALITIK
Disini kekuatan duksi dari semua otot normal dan mata yang berdeviasi mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat). Mata yang ditujukan pada obyek disebut fixing eye, sedang mata yang berdeviasi disebut squinting eye.
Dibedakan strabismus nonparalitika - nonakomodatif.
- akomodatif – berhubungan dengan kelainan refraksi.
STRABISMUS NONPARALITIK NONAKOMODATIF :
Deviasinya telah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama. Deviasinya sama kesemua arah dan tidak dipengaruhi oleh akomodasi. Karena itu penyebabnya tak ada hubungannya dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan otot-otot. Mungkin disebabkan oleh : ( 1, 4 )
Insersi yang salah dari otot-otot yang bekerja horizontal
Gangguan keseimbangan gerak bola mata, dapat terjadi karena gangguan yang bersifat sentral, berupa kelainan kwantitas rangsangan pada otot. Hal ini disebabkan kesalahan persarafan terutama dari perjalanan supranuklear, yang mengelola konvergensi dan divergensi. Kelainan ini dapat menimbulkan proporsi yang tidak baik antara kekuatan konvergensi dan divergensi. Untuk melakukan konvergensi dari kedua mata, harus ada kontraksi yang sama dan serentak dari kedua m.rektus internus, sehingga terjadi gerakan yang sama dan simultan dari mata ke nasal. Divergensi dan konvergensi adalah bertentangan, overaction dari yang satu menyebabkan kelemahan dari yang lain dan sebaliknya. Rangsangan sentral yang berlebihan untuk konvergensi, menyebabkan kedudukan bola mata yang normal untuk penglihatan jauh (divergensi) sedang menjadi strabismus konvergens untuk penglihatan dekat (konvergensi).
Dibedakan :
1. Kelebihan konvergensi : (convergence excess)
pada penglihatan jauh normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus konvergens.
2. Kelebihan divergensi (divergence exess) :
pada penglihatan dekat normal. pada penglihatan jauh timbul strabismus divergens.
3. Kelemahan konvergensi : (convergence insufficiency) : pada penglihatan jauh normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus divergens.
4. Kelemahan divergensi (divergence insufficiency) : pada penglihatan dekat normal, pada penglihatan jauh timbul strabismus konvergens.
Kekurangan daya fusi :
Kelainan daya fusi kongenital sering didapatkan. Daya fusi ini berkembang sejak kecil dan selesai pada umur 6 tahun. Ini penting untukk penglihatan binokuler tunggal yang menyebabkan mata melihat lurus. Tetapi bila daya fusi ini terganggu secara kongenital atau terjadi gangguan koordinasi motorisnya, maka akan menyebabkan strabismus.
Pada kasus yang idiopatis,
Kesalahan mungkin terletak pada dasar genetik. Eksotropik dan esotropia sering merupakan keturunan autosomal dominan. Kadang-kadang pada anak dengan esotropia, didapatkan orang tuanya dengan esoforia yang hebat.
Tidak jarang strabismus nonakomodatif tertutup oleh faktor akomodatif, sehingga bila kelainan refraksinya dikoreksi, strabismusnya hanya diperbaiki sebagian saja.
Tanda-tanda :
1. Kelainan kosmetik, sehingga pada anak-anak yang lebih besar merupakan beban mental.
2. Tak terdapat tanda-tanda astenopia.
3. Tak ada hubungan dengan kelainan refraksi.
4. Tak ada diplopia, karena terdapat supresi dari bayangan pada mata yang berdeviasi.
Pada strabismus yang monokuler, karena supresi dapat terjadi ambliopia ex anopsia. Bila deviasinya mulai pada umur muda dan sudut deviasinya besar, maka bayangan dimakula yang terdapat pada mata yang fiksasi (fixing eye) terdapat didaerah diluar makula pada mata yang berdeviasi (squiting eye). Jadi terdapat abnormal retinal correspondence (binocular fals projection). Pengukuran derajat deviasinya dilakukan dengan : tes Hisrchberg, tes Krimsky, tes Maddox cross. Pemeriksaan kekuatan duksi untuk mengukur kekuatan otot. ( 3, 4, 5 )
Pengobatan :
1. Preoperatif
2. Operatif
Ad. 1. Preoperatif :
Pengobatan yang paling ideal pada setiap strabismus adalah bila tercapai hasil fungsionil yang baik, yaitu penglihatan binokuler yang normal dengan stereopsis, disamping perbaikan kosmetik. Hal ini sukar dicapai karena tergantung dari pada :
1. lamanya strabismus.
2. umur anak pada waktu diperiksa.
3. sikap orang tuanya.
4. kelainan refraksi.
Pada strabismus yang sudah berlangsung lama dan anak berumur 6 tahun atau lebih pada waktu diperiksa pertama, maka hasil pengobatannya hanya kosmetis saja.
Sedapat mungkin ambliopia pada mata yang berdeviasi harus dihilangkan dengan :
1. Menutup mata yang normal (terapi oklusi = patching).
Dengan demikian penderita dipaksa untuk memakai matanya yang berdeviasi. Biasanya ketajaman penglihatannya menunjukkan perbaikan dalam 4-10 minggu. Penutupan ini mempunyai pengaruh baik pada pola sensorisnya retina, tetapi tidak mempengaruhi deviasi. Sebaiknya terapi penutupan sudah dimulai sejak usia 6 bulan, untuk hindarkan timbulnya ambliopia. Pada anak berumur dibawah 5 tahun dapat diteteskan sulfas atropin 1 tetes satu bulan, sehingga mata ini tak dipakai kira-kira 2 minggu. Ada pula yang menetesinya setiap hari dengan homatropin sehingga mata ini beberapa jam sehari tak dipakai. Sedang pada anak-anak yang lebih besar, dilakukan penutupan matanya 2-4 jam sehari. Penetesan atau penutupan jangan dilakukan terlalu lama, karena takut menyebabkan ambliopia pada mata yang sehat ini.
2. Pengobatan dengan cara penutupan, pada anak yang sudah mengerti (3 tahun), harus dikombinasikan dengan latihan ortoptik untuk mendapatkan penglihatan binokuler yang baik. Kalau pengobatan preoperatif sudah cukup lama dilakukan, kira-kira 1 tahun, tetapi tak berhasil, maka dilakukan operasi.
Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada umur 4-5 tahun, supaya bila masih ada strabismusnya yang belum terkoreksi dapat dibantu dengan latihan.
Prinsip operasinya : - reseksi dari otot yang terlalu kuat
- reseksi dari otot yang terlalu lemah. ( 4 )
ESOTROPIA NONAKOMODATIVA,
Meliputi lebih dari setengahnya strabismus nonparalitika. Deviasinya sudah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama. Deviasinya sama kesemua arah dan tak terpengaruhi oleh akomodasi, tak ada hubungan dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan otot.
Penyebabnya mungkin insersi yang salah dari otot bekerja horizontal, kelainan persarafan supranuklear atau kelainan genetis. ( 4, 5 )
Pengobatan :
Terapi penutupan secepat mungkin, disamping latihan ortoptik, sebelum dilakukan tindakan operatif ;
a. resesi dari m.rektus medialis
b. reseksi dari m.rektus lateralis.
STRABISMUS NONPARALITIKA AKOMODATIVA :
Gangguan keseimbangan konvergensi dan divergensi dapat juga berdasarkan akomodasi, jadi berhubungan dengan kelainan refraksi.
Dapat berupa : - strabismus konvergens (esotropia)
- strabismus divergens (eksotropia).
Pemeriksaan yang dilakukan :
Pemeriksaan refraksi harus dilakukan dengan sikloplegia, untuk menghilangkan pengaruh dari akomodasi.
Caranya : - Pada anak-anak dengan pemberian sulfas atropin 1 tetes sehari, tiga hari berturut-turut, diperiksa pada hari keempat.
- Pada orang dewasa diteteskan homatropin 1 tetes setiap 15 menit, tiga kali berturut-turut, diperiksa 1 jam setelah tetes terakhir.
Pengukuran derajat deviasi dengan tes Hirschberg, tes Krismky, tes Maddox cross. ( 2, 3, 4 )
Pemeriksaan kekuatan duksi, untuk mengukur kekuatan otot yang bergerak pada arah horizontal (adduksi = m.rektus medialis; abduksi = m.rektus lateralis).
Pengobatan :
1. koreksi dari kelainan refraksi, dengan sikloplegia.
2. hindari ambliopia dengan penetesan atropin atau penutupan pada mata yang sehat.
3. meluruskan aksis visualis dengan operasi (mata menjadi ortofori).
4. memperbaiki penglihatan binokuler dengan latihan ortoptik.
STRABISMUS KONVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF (KONKOMITAN AKOMODATIF)
Dinamakan juga esotropia, dimana mata berdeviasi kearah nasal. Kelainan ini berhubungan dengan hipermetropia atau hipermetropia yang disertai astigmat. Tampak pada umur muda, antara 1-4 tahun, dimana anak mulai mempergunakan akomodasinya untuk melihat benda-benda dekat seperti mainan atau gambar-gambar. Mula-mula timbul periodik, pada waktu penglihatan dekat atau bila keadaan umumnya terganggu, kemudian menjadi tetap, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat.
Kadang-kadang dapat menghilang pada usia pubertas. Anak yang hipermetrop, mempergunakan akomodasi pada waktu penglihatan jauh, pada penglihatan dekat akomodasi yang dibutuhkan lebih banyak lagi. Akomodasi dan konvergensi erat hubungannya, dengan penambahan akomodasi konvergensinyapun bertambah pula. Pada anak dengan hipermetrop ini, mulai terlihat esoforia periodik pada penglihatan dekat, disebabkan rangsangan berlebihan untuk konvergensi. Lambat laun kelainan deviasi ini bertambah sampai fiksasi binokuler untuk penglihatan dekat tak dapat dipertahankan lagi, dan terjadilah strabismus konvergens untuk dekat. Kemudian terjadi pula esotropia pada penglihatan jauh.
Pengobatan :
1. Koreksi refraksi dengan sikloplegia. Harus diberikan koreksi dari hipermetropia totalis, dan kacamata dipakai terus-menerus. Karena terdapat akomodasi yang berlebihan, juga dapat diberikan kacamata untuk dekat meskipun belum usia presbiopia, untuk mengurangi akomodasinya. Jadi diberikan kacamata bifokal.
2. Mata yang sehat ditutup atau ditetesi atropin untuk memperbaiki visus pada mata yang sakit, 1 tetes 1 bulan 1 kali dapat juga dengan homatropin setiap hari atau penutupan mata yang sehat. Kacamata harus diperiksa berulang kali, karena mungkin terdapat perubahan, sampai kelainan refraksinya tetap.
3. Latihan ortoptik harus dilakukan bersamaan dengan perbaikan koreksi untuk memperbaiki pola sensorik dari retina, sehingga memperbesar kemungkinan untuk dapat melihat binokuler.
4. Kalau setelah tindakan diatas esotropianya masih ada, dan kelainan deviasinya tidak begitu besar, dapat diberikan koreksi dengan prisma, basis temporal.
5. Bila semua tindakan tidak menghilangkan kelainan deviasinya, maka dilakukan operasi, untuk meluruskan matanya.
6. Setelah operasi, diteruskan latihan ortoptik untuk memperbaiki penglihatan binokuler. Pada esotropia untuk jarak jauh, dilakukan reseksi m.rektus eksternus, (otot yang lemah). Pada esotropi jarak dekat, perlu resesi m.rektus internus (otot yang kuat). Untuk esotropi yang hebat, lebih dari 30 derajat, terjadi jauh dekat, dilakukan operasi kombinasi. ( 4 )
STRABISMUS DIVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF (EKSOTROPI KONKOMITAN AKOMODATIF)
Mata berdeviasi kearah temporal. Hubungannya dengan miopia. Sering juga didapat, bila satu mata kehilangan penglihatannya sedang mata yang lain penglihatannya tetap baik, sehingga rangsangan untuk konvergensi tak ada, maka mata yang sakit berdeviasi keluar.
Strabismus divergens biasanya mulai timbul pada waktu masa remaja atau dewasa muda. Lebih jarang terjadi.
Dapat dimulai dengan : 1. Kelebihan divergensi
2. Kelemahan konvergensi.
Pada miopia mulai dengan kelemahan akomodasi pada jarak dekat, orang miop hanya sedikit atau tidak memerlukan akomodasi, sehingga menimbulkan kelemahan konvergensi dan timbullah kelainan eksotropia untuk penglihatan dekat sedang untuk penglihatan jauhnya normal. tetapi pada keadaan yang lebih lanjut, timbul juga eksotropia pada jarak jauh. Bila penyebabnya divergens yang berlebihan, yang biasanya merupakan kelainan primer, mulai tampak sebagai eksotropia untuk jarak jauh. Tetapi lama kelamaan kekuatan konvergensi melemah, sehingga menjadi kelainan yang menetap, baik untuk jauh maupun dekat.
Pengobatan :
1. Koreksi penuh dari miopinya, ditambah overkoreksi 0,5-0,75 dioptri untuk memaksa mata itu berakomodasi, kacamata ini harus dipakai terus-menerus.
2. Latihan ortoptik, untuk memperbaiki penglihatan binokuler, disamping terapi oklusi.
3. Operasi, bila cara yang terdahulu tak memberikan pengobatan yang memuaskan.
Pada eksotropia hanya untuk jarak jauh, dilakukan dari m.rektus lateralis, sedang pada kelemahan dari daya konvergensi, yang timbulkan eksotropia pada jarak dekat dilakukan reseksi dari m.rektus medialis. Untuk eksotropia yang menetap untuk jauh dan dekat, dilakukan operasi kombinasi. Bila kelainan deviasinya tak begitu besar, dapat dicoba dulu dengan kacamata prisma basis nasal.
Pada bayi dan anak kecil ada kecenderungan konvergensi yang berlebihan, yang dipengaruhi oleh persarafan supranuklear. Kecenderungan untuk berdivergensi menjadi lebih besar dengan bertambahnya umur. Karena itu, bila tidak ada daya untuk berfusi, seperti pada mata yang buta atau mata dengan visus yang sangat menurun, maka mata ini akan berdeviasi kenasal pada anak-anak sampai umur 6 tahun dan pada orang-orang yang lebih dari 6 tahun usianya akan berdeviasi kearah temporal. ( 4 )
DAFTAR PUSTAKA
1. Radjamin. T, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia, Airlangga University Press, 121-126.
2. Ilyas S, 1998, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 233-265.
3. Ilyas S, 2000, Strabismus, dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 181-194.
4. Wijana. N, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta, 282-311.
5. Voughan D, Asbury T, 1996, Strabismus, dalam Oftalmologi Umum, edisi II, Jilid 1, Widya Medika, Jakarta, 237-263.
6. Glasspool. MG, 1994, Strabismus, dalam Atlas Berwarna Oftalmologi, Widya Medika, Jakarta, 91-96.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar